Selama ketegangan nuklir yang meningkat pada Perang Dingin, C-130 Hercules mengambil peran yang paling penting. Mereka menjadi jantung dari kemampuan serangan nuklir dari kapal selam.
Saat itu Angkatan Laut Amerika awalnya melengkapi empat skuadron C-130 dengan sistem komunikasi canggih. Tugas mereka menyampaikan pesan antara kepada kapal selam rudal balistik kelas Ohio yang diam-diam berkeliaran di kedalaman lautan.
Misi tersebut dengan sebutan TACAMO, atau “Take Charge and Move Out”. In untuk memastikan arah peluncuran nuklir penting yang disebut pesan tindakan darurat, atau EAM, akan sampai ke kapal selam jika Rusia memulai serangan nuklir.
Alih-alih komunikasi radio modern, TACAMO menggunakan siaran radio frekuensi sangat rendah (VLF). Sebuah teknologi yang telah ada selama hampir 100 tahun. Frekuensi rendah mampu menembus air laut lebih baik dibandingkan frekuensi lainnya. Gelombang ini juga bekerja pada rentang yang luar biasa.
Sebuah pesawat yang menarik antena sepanjang lima mil dapat mengirimkan pesan darurat ke kapal selam yang bersembunyi di mana saja di lautan. Dan ketika terjadi ledakan nuklir. Setelah empat pesawat TACAMO pertama terbukti berhasil, Angkatan Laut Amerika memperluas programnya. Mereka memasang sistem komunikasi VLF secara permanen menjadi delapan C-130. Mereka kemudian dijuluki EC-130Q.
Pada tahun 1980-an, Boeing 707 yang ramping dan cepat mengambil alih misi TACAMO. Pesawat yang mendapat julukan tidak resmi pesawat kiamat karena tugasnya yang berat dan mengakhiri dunia.
Namun dengan berakhirnya masa pakai pesawat 707 dan meningkatnya ancaman bencana nuklir, Angkatan Laut Amereika sepertinya akan kembali menggunakan C-130, untuk melaksanakan misi tersebut.
Untuk informasi selengkapnya simak tayangan berikut: