Adegan kekerasan dan kekacauan di jantung ibukota Irak Baghdad awal pekan ini sangat mengganggu. Tetapi tidak mengejutkan.
Ketegangan telah meningkat di seluruh negara yang memar ini selama setahun terakhir. Sebuah negara tangguh yang telah dirusak oleh perang dan kekerasan yang begitu panjang dam tanpa akhir yang terlihat.
Krisis dimulai setelah pemilihan legislatif Oktober 2021. Beberapa partai yang didukung Iran menyalahkan kekalahan karena pemilihan curang. Mereka menuduh Amerika dan kliennya merekayasa pemilihan.
Mereka mencoba melumpuhkan pemerintah dan parlemen hingga tuntutan mereka dipenuhi.
Tetapi ketika perdana menteri memerintahkan pasukan keamanan untuk menghentikan pengepungan Green Zone yang menampung gedung-gedung pemerintah, dia menjadi sasaran serangan drone dalam upaya pembunuhan yang gagal.
Keputusan Mahkamah Agung negara itu untuk mengesahkan pemilu memungkinkan ulama populis Muqtada al-Sadr yang partainya memenangkan kursi terbanyak.
Dia kemudian membangun koalisi yang luas dengan partai-partai yang didominasi Sunni dan Kurdi untuk membentuk pemerintahan mayoritas.
Namun konstitusi menetapkan bahwa parlemen harus terlebih dahulu memilih presiden. Dan untuk proses ini dua pertiga anggota parlemen wajib hadir.
Aturan ini memungkinkan Kerangka Koordinasi yang didukung Iran untuk memblokir pembentukan pemerintah dengan dengan absen dalam pemilihan.
Setelah kebuntuan selama berbulan-bulan, al-Sadr memerintahkan semua anggotanya yanag berjumlah 73 orang untuk mundur sebagai protes. Dia menyerukan pembubaran parlemen dan diadakannya pemilihan umum baru.
Simak selengkapnya dalam tayangan berikut: