Angkatan udara Amerika bisa menangkis invasi China ke Taiwan selama latihan perang besar-besaran musim gugur lalu. Taktik mengandalkan drone yang bertindak sebagai jaringan penginderaan, jet tempur generasi keenam canggih yang mampu menembus lingkungan yang paling dijaga ketat, pesawat kargo yang menjatuhkan palet amunisi dipandu serta teknologi baru lainnya yang belum terlihat di medan perang modern.
Tetapi kesuksesan itu pada akhirnya mengecewakan karena Amerika harus kehilangan banyak nyawa dan peralatan sebelum mampu mampu mencegah pengambilalihan total Taiwan.
Selain itu angkatan udara yang bertempur dalam konflik simulasi bukanlah kekuatan yang ada saat ini. Juga bukan angkatan udara yang tampaknya sedang dalam proses untuk direalisasikan. Meski pesawat lama seperti pembom B-52 dan yang pesawat baru seperti F-35 berperan, banyak teknologi utama yang ditampilkan selama latihan belum dalam produksi atau bahkan belum direncanakan untuk dikembangkan.
Namun hasilnya adalah peningkatan nyata dari permainan perang serupa yang diadakan selama dua tahun terakhir di mana Amerika mengalmain kerugian besar.
Wakil Kepala Staf Aangkatan Udara Amerika untuk strategi, integrasi dan persyaratan Letnan Jenderal Clint Hinote kepada Defense News mengatakan latihan 2018 melibatkan skenario yang lebih mudah di Laut China Selatan di mana mereka menerjunkan kekuatan mirip dengan yang dioperasikannya hari ini. Hasilnya Amerika kalah dalam waktu singkat.
Tahun berikutnya selama skenario invasi Taiwan, Angkatan Udara Amerika bereksperimen dengan dua tim pesawat berbeda yang beroperasi di dalam zona yang diperebutkan atau tetap berada pada jarak untuk menyerang target. USAF kembali kalah tetapi para pejabat percaya mereka lebih dekat untuk menemukan perpaduan kemampuan yang optimal. Temuan ini membantu menentukan apa yang angkatan udara turunkan untuk latihan perang 2020 yang dilakukan selama dua minggu.
Simak selengkapnya dalam tayangan berikut: