Ekspor jet tempur mewakili kombinasi unik dari kekuatan keras dan lunak. Jika suatu negara dapat menjual jet tempur ke luar negeri, itu berarti dapat menarik pelanggan untuk senjata canggih yang dapat dijual hingga US$ 100 juta per biji yang pada gilirannya membuktikan bahwa negara tersebut memiliki daya tarik sebagai mitra strategis. Maka, tidak mengherankan Beijing telah mendambakan untuk menjadi pengekspor pesawat tempur utama selama beberapa waktu.
Seiring pertumbuhan China, banyak yang berharap bahwa ekspor senjatanya akan mencerminkan tempatnya di panggung dunia. Namun setelah beberapa dekade mencoba, hal itu tidak terjadi. Konfrontasi bulan Juni lalu dengan Filipina, di mana kapal angkatan laut China memasuki perairan Filipina tanpa izin, mungkin menunjukkan inti masalahnya. Dan kegagalan ini mungkin menggambarkan kelemahan utama China. Pada dasarnya, hanya sedikit yang ingin bermitra dengan Beijing.
Selama beberapa dekade, pertumbuhan China sebagai kekuatan ekspor pesawat tempur tampaknya tak terelakkan. Pada bulan April 1997, Interavia, sebuah jurnal perdagangan yang saat itu berpengaruh meramalkan China Siap Menyalip Rusia dalam satu dekade atau lebih sebagai penyedia pesawat tempur ke negara berkembang. Sembilan tahun kemudian, Aviation Week & Space Technology berpendapat China mungkin muncul sebagai penyedia paket pesawat tempur murah untuk pasar ekspor.
Angka-angka dengan jelas menunjukkan bahwa hal semacam itu tidak terjadi. Menurut database transfer senjata Stockholm International Peace Research Institute antara tahun 2000 hingga 2020, China hanya mengekspor pesawat militer senilai US$7,2 miliar. Sangat tidak berarti dengan Amerika Serikat yang pada periode sama mengekspor jet tempur senilai US$99,6 miliar. Juga jauh dari Rusia yang ada di urutan kedua dengan nilai US$61,5 miliar. Bahkan ekspor pesawat Prancis dua kali lipat dari China yakni sebesar US$ 14,7 miliar. Dan hanya ada sedikit tanda-tanda momentum kenaikan untuk China.
Selengkapnya simak tayangan berikut: