Selama tahun 2017, lebih dari 10.000 anak tewas atau cacat di tengah konflik bersenjata di seluruh dunia, sementara yang lain diperkosa, dipaksa untuk melayani sebagai tentara bersenjata atau tertangkap dalam serangan di sekolah-sekolah dan rumah sakit.
Hal tersebut terungkap dalam laporan PBB yang dirilis Rabu 27 Juni 2018. Disebutkan total lebih dari 21.000 pelanggaran hak anak dilaporkan pada tahun 2017 yang mengalami peningkatan tajam dari tahun sebelumnya.
Amerika menyalahkan koalisi Arab yang didukung Amerika di Yaman karena menyebabkan setidaknya setengah dari lebih dari 1.300 kematian anak-anak atau cedera yang tercatat di negara miskin itu. Mereka adalah korban serangan udara dan darat oleh Arab Saudi dan Uni Emirat Arab pada pemberontak Houthi yang menentang pemerintah Yaman yang diakui secara internasional.
“Intinya adalah, anak-anak ini seharusnya tidak diperlakukan seperti anak-anak. Mereka berhak mendapatkan hak yang sama seperti setiap anak untuk menjalani hidup mereka setidaknya penuh arti dan diberi kesempatan untuk pemulihan,” kata Virginia Gamba, anggota khusus PBB untuk anak-anak dan konflik bersenjata sebagaimana dilaporkan Stars and Stripes.
Sebanyak 21.000 pelanggaran hak anak termasuk 10.000 orang yang tewas atau cacat, terutama terjadi di Irak, Myanmar, Republik Afrika Tengah, Republik Demokratik Kongo, Sudan Selatan, Suriah dan Yaman.
Angka ini mengalami peningkatan dramatis dari 15.500 kasus pada 2016. “Sekretaris Jenderal PBB [Antonio Guterres ] marah pada angka ini, peningkatan yang signifikan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya,” kata juru bicaranya, Stephane Dujarric.
Beberapa item dari laporan itu menyebutkan:
- Hampir separuh dari 881 korban anak yang diverifikasi di Nigeria dihasilkan dari serangan bunuh diri, termasuk penggunaan anak-anak sebagai bom manusia. Lebih dari 1.900 anak-anak ditahan karena dugaan hubungan mereka atau orang tua mereka dengan organisasi militan Boko Haram.
- Sedikitnya 1.036 anak-anak ditahan di fasilitas penahanan Irak atas tuduhan terkait keamanan nasional, sebagian besar karena dugaan mereka berhubungan dengan kelompok ISIS.
- Sebanyak 1.221 anak-anak direkrut dan digunakan sebagai tentara di Sudan Selatan.
- Kelompok al-Shabab di Somalia diduga menculik lebih dari 1.600 anak-anak, beberapa direkrut dan bersenjata dan yang lainnya menjadi korban kekerasan seksual.
- Anak-anak di Myanmar, Sudan Selatan, Suriah, dan Yaman dicegah untuk menerima bantuan yang menyelamatkan jiwa.
- Anak-anak Suriah terperangkap di daerah-daerah yang dikepung di tengah kondisi kehidupan yang memburuk.
“Laporan ini merinci kekerasan yang tak terkatakan yang dihadapi anak-anak, dan menunjukkan bagaimana dalam banyak situasi konflik, pihak-pihak yang bertikai memiliki pengabaian total untuk melindungi mereka yang paling rentan terkena dampak perang,” kata Gamba.
“Ketika rumahmu atau sekolahmu diserang tanpa keraguan, ketika tempat aman tradisional menjadi target, bagaimana anak laki-laki dan perempuan bisa lolos dari kebrutalan perang? Itu tercela.”