Serangan udara ke Suriah oleh Amerika, Inggris dan Prancis 14 April 2018 lalu diadang oleh sistem pertahanan udara Suriah. Rusia mengklaim merontokkan 71 rudal sementara Amerika menyebut dari 40 rudal yang ditembakkan Suriah tidak ada satupun yang menganggu rudal mereka.
Terlepas dari dua klaim yang berbeda tersebut, yang jelas serangan yang dilakukan dari laut dan udara tersebut dilakukan di wilayah udara yang dijaga ketat oleh sistem pertahanan udara.
Pertanyaan yang cukup mengusik, kenapa dalam situasi semacam itu jet tempur F-22 Raptor justru tidak terlibat? Padahal kemampuan silumannya seharusnya bisa dimanfaatkan untuk menyusup pertahanan Suriah.
Pesawat tempur siluman generasi kelima Angkatan Udara Amerika itu tidak terbang bersama sepasang pembom B-1B Lancer yang menjatuhkan rudal pada target.
Sementara Tornado dan Typhoon Inggris serta para Rafale dan Mirage Prancis berpartisipasi dalam serangan, Defense News melaporkan pada akhir pekan bahwa F-22 tidak hadir. Sebaliknya, pesawat perang elektronik tua EA-6B Prowler Korps Marinir justru dilibatkan memberikan dukungan meski B-1 sendiri juga memiliki kemampuan jamming sinyal.
Sejumlah laporan juga menyebutkan beberapa F-15C Eagles dan F-16C Fighting Falcon juga terlibat dalam serangan yang berlangsung selama kurang lebih 60 menit tersebut.
Salah satu alasan kenapa Raptor tidak terlibat adalah karena Angkatan Udara Amerika Serikat memilih untuk menggunakan Joint Air-to-Surface Standoff Missile-Extended Range (JASSM-ER) yang ditembakkan dari B-1.
Menggunakan rudal ini, pesawat tidak harus mendekat ke area jangkauan rudal pertahanan Suriah. Dengan kata lain karakter siluman tidak dibutuhkan karena kehadiran rudal jarak jauh tersebut.
“Di antara opsi yang dipertimbangkan, memanfaatkan B-1B untuk meluncurkan senjata dengan terbang dari luar wilayah udara Suriah adalah [tindakan] yang lebih disukai untuk sejumlah alasan, termasuk risiko minimal bagi aircrew dan pesawat, dan kemampuan destruktif yang tepat dari JASSM-ER, “kata juru bicara Komando Sentral Amerika Letnan Kolonel Damien Pickart kepada Military.com, Senin 16 April 2018.
Pickart mengatakan F-22 tetap menjadi opsi untuk serangan. Tetapi pada akhirnya, itu adalah waktu JASSM-ER untuk bersinar.
“F-22A tersedia, tetapi tidak diperlukan untuk operasi seperti yang direncanakan,” katanya. “F-22 sangat cocok untuk misi kontra pertahanan udara yang terus dilakukan atas Suriah, melindungi pasukan koalisi dan mitra di darat dan di udara.”
F-22 memang tidak setenar jet-jet tempur lain dalam perang melawan ISIS di Suriah. Hampir tidak ada kabar tentang peran penting pesawat ini dan keterlibatan dengan pesawat lain.
Dalam insiden pada bulan Juni, F-15 Strike Eagles dan F / A-18 Super Hornet bertemu dengan pesawat musuh.
Pada 8 Juni dan 20 Juni, F-15E Angkatan Udara menembak jatuh drone Shaheed Iran di atas At Tanf ketika kendaraan udara tak berawak mendekati pasukan yang didukung Amerika di darat.
Pada 18 Juni, Super Hornet Angkatan Laut F / A-18E melakukan pembunuhan udara ke udara pertama militer Amerika dalam hampir dua dasawarsa ketika pesawat itu menumpas Su-22 Fitter di wilayah Taqbah.
“Kami menempatkan F-22 di area ancaman tertinggi sebanyak yang kami bisa, tetapi mereka tidak bisa ada di sana 24/7 [24 jam/tujuh hari],” kata Brigjen Charles Corcoran, Komandan Expeditionary Wing 380, Pangkalan Udara Al Dhafra Uni Emirat Arab, mengatakan kepada Military.com akhir bulan itu. Wing 380 menjadi rumah F-22 untuk misi di Timur Tengah.
“Tidak ada yang bersedih karena tidak membunuh,” kata Corcoran yang juga seorang pilot F-22. “Kami senang semua orang melakukan pekerjaan mereka.”
Para pejabat mengatakan kepada Military.com bahwa F-22 belum menampilkan perannya sebagai jet tempur udara ke udara dalam konflik. Di Suriah pesawat ini justru lebih berperan sebagai mata dari jet-jet tempur lain. Tugasnya juga mengamankan area pertempuran agar jet tempur generasi keempat bisa leluasa melakukan serangan tanpa gangguan dari pesawat lawan.
Raptor akhirnya membuat debut tempurnya di Afghanistan pada 19 November, melakukan misi serangan darat untuk menghantam laboratorium obat terlarang dengan small diameters bombs.
Beberapa mengkritik penggunaan jet tempur mahal untuk untuk peran tersebut karena dinilai berlebihan, tetapi pada saat itu, komandan lapangan memuji kerja Raptor.
“Raptor digunakan karena kemampuannya untuk memberikan amunisi presisi, dalam hal ini, bom diameter kecil seberat 250 pon yang menyebabkan kerusakan kolateral minimal,” kata Jenderal Angkatan Darat John Nicholson, komandan NATO yang memimpin Misi Resolute Support dan Pasukan Amerika di Afghanistan pada saat itu.
Angkatan Udara kemudia sedikit mengubah pendapatnya dan mendukung pandangan bahwa menyerang laboratorium obat sebenarnya lebih tepat menggunakan pesawat serang ringan seperti A-29 Super Tucano.
Berbicara di Heritage Foundation pada bulan Maret, Sekretaris Angkatan Udara Heather Wilson mengatakan serangan semacam itu sebenarnya bisa digunakan sekaligus untuk menguji pesawat ringan.
“Daripada untuk menghancurkan fasilitas narkotika di Afghanistan, jet tempur generasi kelima seperti F-22, dapat melewatkan seperti misi semacam itu dan lebih bersiap untuk pertarungan melawan musuh kelas atas seperti Rusia dan China.”
Pada bulan Februari, Wilson kembali mengatakan hal yang di Mitchell Institute. “Kami seharusnya tidak menggunakan F-22 untuk menghancurkan pabrik narkotika di Afghanistan,” katanya sebagaimana dikutip Breaking Defence.