Pertama Sejak Perang Dunia II, Jepang Bentuk Brigade Amfibi Tempur
Reuters

Pertama Sejak Perang Dunia II, Jepang Bentuk Brigade Amfibi Tempur

Pasukan Bela Diri Jepang mengaktifkan brigade tempur angkatan lautnya yang dikenal sebagai Amfibi Rapid Deployment Brigade, atau ARDB. Hal ini akan membawa Jepang pada akhirnya akan memiliki pasukan marinir sekelas Amerika Serikat yang  bisa bertempur jauh dari rumah mereka.

Ini adalah yang pertama kalinya dilakukan Jepang setelah Perang Dunia II. Kelompok yang melakukan latihan pada Jumat 5 April 2018 tersebut menunjukkan kemampuan mereka untuk mengusir dan merebut kembali pulau-pulau dari pasukan lawan yang mendudukinya.

Pembentukan brigade laut Jepang dianggap kontroversial, karena unit amfibi dapat memproyeksikan kekuatan militer dan kritikus memperingatkan hal tersebut dapat digunakan untuk mengancam negara tetangga Jepang. Dalam konstitusi pasca-Perang Dunia Kedua, Jepang meninggalkan hak untuk berperang.

Namun, ketegangan yang terus meningkat dengan Beijing terkait sengketa Laut China Timur dan juga perkembangan senajta Korea Utara telah mendorong banyak pejabat Jepang untuk menafsirkan kembali kekuatan militer mereka untuk bisa mengatasi ancaman yang muncul dalam beberapa tahun terakhir.

Brigade tersebut merupakan komponen terbaru dari angkatan laut yang sedang berkembang, mencakup kapal induk helikopter, kapal amfibi, pesawat terbang militer tiltrotor Osprey dan kendaraan serbu amfibi, yang dimaksudkan untuk menghalangi China saat pihaknya mendorong akses yang lebih mudah ke Pasifik Barat.

ARDB adalah brigade tempur amfibi pertama Jepang sejak Perang Dunia II, yang terdiri dari sekitar 2.100 tentara.

Reuters

“Mengingat keadaan pertahanan dan keamanan semakin sulit di sekitar Jepang, pertahanan pada kepulauan kami menjadi mandat penting,” kata Tomohiro Yamamoto, wakil menteri pertahanan, dalam pidatonya saat latihan.

China, yang mendominasi Laut China Selatan, melampaui Jepang dalam hal pembelanjaan pertahanan. Pada 2018, Beijing, yang mengklaim sekelompok pulau tak berpenghuni di Laut Cina Timur yang dikendalikan oleh Tokyo, akan membelanjakan 1,11 triliun yuan (176,56 miliar dolar Amerika Serikat) untuk angkatan bersenjatanya, tiga kali lipat lebih banyak dari Jepang.

Aktivasi dari 2.100 ARDB  ini akan membawa Jepang selangkah lebih dekat untuk menciptakan kekuatan yang mirip dengan Marine Ekspeditions Unit (MEU) Amerika Serikat, yang mampu merencanakan dan melaksanakan operasi di laut yang jauh dari pangkalannya.

“Mereka telah menunjukkan kemampuan untuk menyusun MEU untuk saat ini. Tetapi untuk memiliki kemampuan MEU yang solid dan kokoh membutuhkan upaya bersama,” menurut Grant Newsham, seorang peneliti di Forum Jepang untuk Studi Strategis.

“Jika Jepang berpikir hal tersebut, dalam satu tahun atau satu setengah tahun mereka dapat memiliki kemampuan yang layak,” jelasnya.

Newsham, yang membantu melatih pasukan amfibi pertama Jepang sebagai perwira penghubung kolonel Marinir Amerika yang ditugaskan ke Pasukan Bela Diri Darat  mengatakan Jepang masih membutuhkan markas amfibi angkatan laut gabungan untuk mengoordinasikan operasi serta lebih banyak kapal amfibi untuk membawa pasukan dan peralatan.

Perencana militer Jepang telah mempertimbangkan beberapa tambahan tersebut. Angkatan Pertahanan Diri Udara (ASDF) ingin mendapatkan F-35B untuk beroperasi dari kapal induk Izumo dan Ise, atau dari pulau-pulau di sepanjang Laut Cina Timur, menurut sumber.

Amerika pada bulan lalu mengerahkan F-35B untuk operasi pertama mereka di atas kapal penyerangan amfibi USS Wasp, yang berbasis di Sasebo. Pelabuhan Kyushu juga merupakan rumah bagi kapal induk Ise Jepang dan dekat dengan basis ARDB.

Secara terpisah, GSDF dapat memperoleh kapal amfibi kecil hingga sepanjang 100 meter panjang untuk mengangkut pasukan dan peralatan antar pulau-pulau dan dari kapal ke pantai, menurut dua sumber yang akrab dengan diskusi itu. Pasukan darat Jepang belum mengoperasikan kapal mereka sendiri sejak Perang Dunia II.

“Idenya adalah membawa pasukan dan perlengkapan di kapal besar ke pulau utama Okinawa dan kemudian menyebarkannya ke pulau lain dengan kapal lebih kecil,” kata sumber, yang meminta tidak dikenali karena tidak berwenang berbicara dengan media.