Amerika Serikat mengeluarkan larangan ekspor senjata dan layanan pertahanan ke Sudan Selatan. Keputusan ini meningkatkan tekanan kepada Presiden Salva Kiir untuk mengakhiri konflik yang telah berlangsung empat tahun di negara tersebut.
“Departemen Luar Negeri hari ini mengumumkan bahwa mereka menerapkan pembatasan pada ekspor barang-barang pertahanan dan layanan pertahanan ke Sudan Selatan,” kata juru bicara Departemen Luar Negeri Amerika Serikat Heather Nauert dalam sebuah pernyataan Jumat 2 Februari 2018.
Meski pemerintah Amerika Serikat tidak melakukan penjualan senjata ke Sudan Selatan, tindakan tersebut mencegah setiap perusahaan atau warga negara Amerika untuk mengirim peralatan militer atau dinas ke faksi-faksi yang berperang di negara tersebut.
Embargo unilateral merupakan sinyal lain oleh Washington bahwa mereka kehilangan kesabaran dengan Kiir setelah gencatan senjata telah berulang kali dilanggar.
Pada 2016 Angkatan Darat Sudan Selatan mengakui telah mengakuisi rudal darat ke udara portabel atau Man Portable air defense system (Manpads). Senjata-senjata itu dibawa melalui negara-negara tetangga seperti Kenya dan Uganda. Hal ini juga mendorong pemerintah Amerika Serikat untuk memperingatkan warganya akan bahaya jika terbang di Sudan Selatan.
Seorang perwira tinggi militer Sudan Selatan dan sekutu militer lama dari Presiden Salva Kiir pada saat itu mengatakan kepada Sudan Tribune bahwa tentara telah memperoleh puluhan rudal panggul, yang disampaikan kepada mereka melalui pelabuhan Mombasa Kenya melalui Uganda.
Sumber asli pasokan masih belum jelas, meskipun sejumlah kritikus pemerintah presiden Kiir telah menunjukkan jari ke China, yang diyakini sejak lama telah menjual senjata dalam jumlah besar ke negara tersebut untuk membantu pemerintah memerangi pemberontak yang bersekutu dengan mantan wakil presiden Riek Machar.
China juga tidak pernah membantah atau mengkonfirmasi apakah mereka memasok senjata atau tidak ke Sudan Selatan. Pejabat di kementerian perminyakan dan departemen anggaran di kementerian keuangan dan perencanaan ekonomi pada tahun 2014 telah menegaskan bahwa pemerintah telah menggadaikan minyak mentah ke perusahaan China untuk memperoleh senjata karena tidak mampu membayar secara tunai untuk membeli senjata baru.
Pemerintah telah memilih menyelesaikan konflik di dalam negeri melalui opsi militer. Hal ini yang menjadikan pemerintah belanja senjata secara besar-besaran. Jenis dan jumlah senjata yang diterima tidak jelas. Menurut para ahli militer dan orang-orang yang mengetahui situasi militer Sudan Selatan, keberadaan senjata ini jauh lebih canggih dibandingkan senjata lama yang bisa dibilang primitif.
Juga belum jelas apakah senjata diterima dengan pengetahuan yang tinggi tentara untuk mengoperasionalkan senjata tersebut. Karena senjata teknologi tinggi ini membutuhkan tingkat latihan dan disiplin tinggi. Banyak ahli menyebut kurangnya kapasitas dan pelatihan yang memadai untuk menangani dan mengoperasikan senjata diduga telah menjadikan sejumlah masalah termasuk beberapa kali helikopter menjatuhkan bom pada target yang salah ke daerah yang dihuni warga sipil bukan sasaran militer yang dicurigai.
Baca juga: