Di tengah hiruk pikuk pemilihan presiden (Presiden), para calon anggota dewan yang sudah pasti terpilih dan tinggal menunggu pelantikan mempunyai kesibukan tersendiri. Para wakil rakyat ini sedang asyik diukur badannya untuk pembuatan jas yang akan digunakan untuk pelantikan nanti.
Sudah tradisi. Wakil rakyat harus pakai baju baru saat pelantikan. Seperti tradisi anak-anak saat perayaan idulfitri atau natal. Meski kalau dicari korelasinya benar-benar tidak ada hubungannya antara jas baru dengan pelantikan. Apalagi dengan kinerja para wakil rakyat itu.
”Performance first [penampilan pertama] kok mas kalau pakai jaket bolong-bolong yo ra kajen [tidak terhormat],” celetuk seorang teman saat berbicara masalah jas anggota dewan. Yang pasti celetukan teman itu tidak serius dan hanya sindiran bagi orang-orang yang dipercaya rakyat untuk duduk di gedung rakyat.
Ada apa dengan penampilan pertama kok harus pakai jas baru? So what gitu loch? Terus apa rakyat yang diwakili itu sudah sedemikian kaya raya dan semua pakai baju mahal sehingga yang mewakili juga pakai baju mahal? Ah, dijamin dari sekitar 3 juta warga DIY, tidak lebih dari 10% yang pernah menggunakan jas apalagi memilikinya. Ini hanya sebuah tradisi yang tidak jelas apa dasarnya, apa manfaatnya dan apa tujuannya.
Enaknya lagi para wakil rakyat ini mendapat jas gratis. Karena seluruh pembiayaannya diambil dari anggaran daerah yang merupakan duit rakyat. Jadi berbanggalah para petani, nelayan, sopir, tukang becak, pedagang kaki lima, tukang parkir, dan sebagainya karena sudah bisa membelikan baju bagi para wakilnya.
Harganya pun tidak ketulungan. Untuk DPRD DIY misalnya, dana Rp450 juta lebih digelontorkan untuk men-jas-i para wakil rakyat plus para pegawai Sekretariat Dewan. Dengan anggota dewan mencapai 50 orang ditambah pegawai Sekwan sekitar 30 orang, maka kira-kira satu jas seharga Rp5,6 juta.
Itu baru untuk anggota DPRD DIY. Belum lagi untuk DPRD Kabupaten/Kota. Untuk DPR Kota Juga anggaran jas ini sebesar Rp159 juta, Sleman Rp130 juta, Bantul Rp206 juta, sementara Gunungkidul dan Kulonprogo angka-angkanya belum diketahui.
Tapi dari DPRD Provinsi, Bantul, Sleman dan Kota Jogja saja, jika ditotal jendral sudah ada sekitar Rp945 juta. Itu hanya untuk baju para wakil rakyat. Angka itu sama dengan gaji 1.350 buruh di Jogja dengan upah minimum Rp700.000. Atau setara dengan jatah bantuan langsung tunai (BLT) bagi 3.150 keluarga miskin selama tiga bulan.
Sekali lagi itu baru untuk empat DPRD di DIY. Lalu berapa anggaran untuk membelikan jas bagi seluruh anggota dewan di Indonesia. Mari mencoba menghitung dengan sederhana. Di Indonesia terdapat sekitar 500 kabupaten/kota. Dengan melihat angka-angka di Bantul, Sleman dan Jogja, ambil saja rata-rata anggaran untuk jas anggota dewan per kabupaten adalah Rp150 juta. Maka total untuk 500 kabupaten adalah Rp75 miliar.
Selain itu kita juga punya 33 provinsi. Jika anggarannya sekitar Rp450 juta seperti di DIY, maka untuk seluruh provinsi di Indonesia anggaran untuk jas adalah Rp14,85 miliar. Total untuk seluruh kabupaten/kota dan provinsi di Indonesia mencapai Rp89,85 miliar. Itu harga yang kira-kira harus dibayar rakyat agar para wakilnya bisa tampil elegan, wibawa, dan terhormat. Belum dihitung untuk anggota DPR pusat yang pasti jauh lebih besar anggarannya.
Silahkan berandai-andai dengan uang sebesar itu bisa digunakan untuk apa. Tidak ada larangan kok untuk berandai-andai. Semisal uang Rp89,85 miliar itu digunakan untuk beasiswa anak SD sebulan Rp100.000. Maka selama enam tahun dia di SD total beasiswanya adalah Rp100.000 x 12 bulan x 6= Rp7.200.000. Dengan dana Rp89,85 miliar maka akan ada sekitar 12.479 anak yang mendapat beasiswa. Atau kalau untuk pinjaman tanpa bunga sebagai modal UKM masing-masing Rp20 juta saja, maka akan ada sekitar 4.492 usaha kecil yang akan bisa berkembang karena mendapat bantuan modal.
Ah, tapi semua itu hanya andai-andai saja. Selagi berandai-andai itu belum dilarang. Selagi rakyat bisanya hanya berandai-andai. Toh anggaran sudah diketok untuk jas para wakilnya. Jadi rakyat hanya bisa bilang jas for you, sir! saja.
Comments are closed