Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan terus bersuara keras dengan keputusan Amerika mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel dan akan memindahkan kedutaan negara tersebut ke wilayah yang disengketakan dari Tel Aviv.
“Palestina adalah korban yang tidak bersalah. Sedangkan untuk Israel, mereka adalah negara teroris, ya, teroris!” kata Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan dalam pidatonya di kota Sivas Minggu 10 Desember 2017.
Presiden Turki berjanji untuk menggunakan semua cara yang mungkin untuk melawan Israel, dengan mengatakan bahwa “Kita tidak akan meninggalkan Yerusalem berada di sebuah negara yang membunuh anak-anak,” katanya sambil menunjukkan sebuah foto seorang bocah Palestina berusia 14 tahun yang menurutnya diduga diseret oleh tentara Israel.
Pernyataan tersebut sejalan dengan sikapnya sebelumnya, yang menentang pengumuman Presiden Amerika Donald Trump pada 6 Desember yang mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel telah, “batal dan tidak berlaku lagi.”
Beberapa jam setelah deklarasi Trump mengenai Yerusalem, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan sebagai ketua Organisasi Kerjasama Islam saat ini, menyerukan pertemuan darurat pada tanggal 13 Desember untuk bersidang di Istanbul.
Dalam pernyataannya sebelumnya, Erdogan telah berjanji untuk mendesak OKI memutuskan hubungan dengan Israel jika keputusan mengenai Yerusalem diadopsi.
Meskipun pada bulan April 2017 pemimpin Turki tersebut yang menyatakan normalisasi hubungan diplomatik dengan Israel yang memburuk pada tahun 2010, Erdogan tetap menyatakan dukungannya kepada negara Palestina dan berulang kali mengkritik kebijakan Tel Aviv.
Erdogan telah menyebut Yerusalem sebagai “garis merah bagi umat Islam,” yang menjelaskan bahwa keputusan Amerika mengenai wilayah yang disengketakan itu akan menjadi “pukulan berat bagi seluruh umat manusia.”
Menurut Erdogan, keputusan Amerika Serikat yang merupakan anggota tetap Dewan Keamanan PBB, untuk memindahkan kedutaan besarnya ke Yerusalem merusak reputasi Perserikatan Bangsa-Bangsa dan melanggar hukum internasional.