Pejabat Angkatan Udara Amerika Serikat pada Mei 2017 lalu mengatakan masalah kursi lontar pada jet tempur F-35 telah bisa diselesaikan. Sebelumnya ditemukan masalah bahwa pilot yang memiliki berat badan ringan akan berisiko ketika menggunakan kursi pelontar yang diaktifkan saat kondisi darurat tersebut.
Tetapi laporan lembaga keselamatan internal USAF menemukan kursi itu masih menimbulkan risiko “serius” yang mungkin akan melukai atau membunuh hampir dua lusin pilot jet tempur siluman mereka.
Laporan tersebut menyebutkan Kantor Program Bersama F-35 – yang menjalankan program senjata termahal dalam sejarah dengan nilai US$ 406,5 miliar – telah menolak untuk mencoba menyelamatkan nyawa mereka dengan hanya melakukan pengujian tambahan kurang dari satu tahun dan memakan biaya yang relatif kurang yakni hanya beberapa juta dolar.
Tes menggunakan manekin pada tahun 2015 menunjukkan bahwa beberapa pilot F-35 berisiko mengalami cedera leher yang fatal jika harus melontarkan diri dengan kursi. Pejabat Angkatan Udara mengatakan dalam sebuah konferensi pers di bulan Mei bahwa perubahan telah dibuat di kursi sejak saat itu, termasuk penyangga kepala baru dan pada dasarnya telah memecahkan masalah ini.
“Saya yakin pilot kami tidak perlu lagi khawatir dengan sistem ejeksi F-35,” Brigadir Jenderal Scott Pleus, seorang pejabat tinggi Angkatan Udara Amerika yang mengawasi program tersebut, mengatakan kepada wartawan.
Namun dua minggu sebelum konferensi per situ digelar, laporan internal Angkatan Udara dari pakar keselamatan penerbangan terkemuka, Technical Airworthiness Authority, memunculkan cerita yang berbeda.
Laporan yang dikeluarkan 1 Mei dan baru diungkap rollcall.com Selasa 19 September 2017 itu menyebutkan sebanyak 20 pilot akan terluka atau terbunuh dalam beberapa dekade mendatang, kecuali kursi ejeksi yang diupgrade menjalani pengujian tambahan untuk menunjukkan bahwa mereka bekerja dalam kasus “di luar hitungan”. Dengan kata lain, bila pesawat tidak terkendali, dan tidak hanya kondisi optimal penerbangan.
Dalam laporan berjudul “F-35-A Residual Risk Acceptance,” yang diperoleh CQ Roll Call itu juga menyebutkan kasus semacam itu memang jarang terjadi – mungkin 2 persen dari kasus ejeksi. Namun hasilnya bisa menjadi bencana bagi pilot.
Dengan tes yang hanya menghabiskan kurang dari US $ 1 juta selama sembilan sampai 12 bulan maka pengujian itu dinilai sangat lemah.
Pejabat Angkatan Udara di Pangkalan Angkatan Udara Wright-Patterson di Ohio, tempat laporan keselamatan dibuat, menolak memberikan salinan laporan tersebut dan mengatakan permintaan Undang-Undang Kebebasan Memperoleh Informasi harus diajukan untuk mendapatkannya.
“Program F-35 perlu melakukan pengujian yang memadai dalam kondisi off-nominal untuk mengkarakterisasi dan menilai efek dari ejeksi off-nominal, (misalnya, out-of-control) yang tidak tepat,” kata Letnan Kolonel Roger Cabiness, seorang pejabat juru bicara kantor pengujian operasional.
Perhatian lain dari petugas pengujian Pentagon – yang kurang mendapat perhatian ddibandingkan kursi ejeksi – adalah kanopi kokpit polimer F-35, yang terangkat dan dihancurkan sebelum kursi ejeksi dilepaskan. Kekhawatirannya adalah bahwa fragmen “kanopi bisa menabrak pilot selama urutan ejeksi,” kata Cabiness, terutama jika pesawat tidak terkendali. Sistem kanopi juga belum cukup diuji untuk melihat bagaimana kinerjanya saat pesawat lepas kendali.
Baca juga: