Catatan dari para pemimpin kapal sipil Den Arent (The Eagle/ Burung Elang) mengenai kota Aceh pada tahun 1689
Pada tahun 1689, kerajaan Aceh Darusaalam diperintah oleh Sultanah Kamalat Syah (1689-1699). Dia memerintah hingga 1600 ketika digulingkan oleh seorang penantang dari keturunan Arab, Sultan Badr. Al-Alam Syariff Hashim Jalam al-Din (1699-1702).
Sultanah Kamalat Syah adalah penguasa wanita terakhir dari serangkaian penguasa wanita yang memerintah Aceh selama 59 tahun dari 1641 hingga 1699. Penguasa wanita pertama adalah Sultanah Taj al-Alam Safiatuddin Syah (1641-1675). Penguasa sebelumnya, yaitu suami Dia adalah Sultan Iskandar Thani (1637-1641) meninggal pada usia muda, 31 tahun, di tahun 1641 dengan sebab yang tidak diketahui, tanpa mempunyai keturunan.
Oleh karena tidak memiliki keturunan laki-laki, maka janda Dia yang merupakan anak perempuan dari Sultan Iskandar Muda (1607-1636) menggantikannya dan menjadi penguasa wanita pertama di Aceh. Dia memerintah cukup lama, yaitu 35 tahun, hingga meninggal di tahun 1675 dan digantikan oleh seorang wanita lain yang bergelar Sultanah Nur al-Alam Naqiyyat al-Din Syah yang memerintah selama tiga tahun hingga wafat di tahun 1678.
Wanita ketiga yang kemudian menjadi penguasa Aceh adalah Sultanah Inayat Syah Zakiyyat al-Din Syah yang memerintah dari 1678 hingga wafat di tahun 1688. Sesudah digantikan oleh Kamalat Syah, yang sudah disebutkan di atas, Aceh tidak pernah diperintah lagi oleh seorang wanita dan dengan demikian berakhirlah sebuah kurun waktu khas dalam sejarah Aceh.
Di tahun 1660-an, VOC mulai menjalin hubungan dengan istana Aceh dan berusaha secara unilateral untuk mendekati sejumlah negara vasal Aceh di kawasan Pesisir Barat Sumatra. Langkah tersebut, antara lain disebabkan karena Kompeni gagal merebut dan melakukan perdagangan monopoli atas timah, lada serta emas kendati telah banyak perjanjian diplomatik ditandatangi dengan Aceh semenjak pemerintahan Iskandar Muda (1583-1636).
Perjanjian Painan tertanggal Maret 1663 dan sebuah Perjanjian lain yang ditandatangani di bulan April 1668 antara VOC dan negara-negara Pesisir Barat Sumatra menandai usaha VOC untuk melangkahi Aceh dan menempatkan sejumlah dari negara-negara tersebut di bawah perlindungan Belanda.
Bahkan di tahun 1661, VOC menutup kantornya di Banda Aceh dan menyisakan hanya segelintir orang di kerajaan tersebut. Di tahun 1680-an, sebagian besar hubungan Belanda dengan Aceh dilaksanakan pada tataran swasta dan bukan secara resmi.
Semakin sedikit laporan yang dibuat dan dikirimkan ke Batavia oleh para wakil resmi VOC di Aceh dan sebaliknya, uraian mengenai Aceh justru ditulis oleh mereka yang bukan pejabat VOC seperti laporan ini yang ditulis oleh para pemimpin kapal swasta, “The Eagle”.
Memorandum ini menunjukkan bahwa tidak ada kehadiran resmi VOC karena disebutkan bahwa orang Belanda “tidak lagi sering datang kemari untuk berdagang”. Laporan ini juga mengisyaratkan bahwa ada persaingan antara Inggris dan Belanda, serta adanya berbagai usaha Inggris untuk merayu para penguasa Aceh serta memperingati mereka terhadap kecenderungan pihak Belanda yang bertindak agresif – “orang Inggris berusaha meyakinkannya bahwa segera setelah Kompeni menjejakkan kakinya di tanah ini, maka mereka akan bertindak sebagai penguasa setempat”.
Pada tahun 1680-an, sesudah kehilangan pangkalannya di Banten di tahun 1682, maka perusahaan Inggris (EIC) East India Company-lah yang memantapkan keberadaannya ketimbang VOC, dan meningkatkan hubungan dagang mereka dengan Aceh.
Akan tetapi, delegasi EIC yang diutus ke Aceh di tahun 1684 pun gagal bermukim secara resmi di bumi Aceh. Oleh karena itu, maka laporan-laporan tentang Aceh dari 1680-an dan selanjutnya, kebanyakan ditulis oleh para pedagang dan pelancong swasta seperti Thomas Bowrey, William Dampier dan Jacob de Roy.