Tzipi Livni, mantan Menteri Luar Negeri Israel, mengaku khawatir negaranya berada di ambang pertempuran agama dengan dunia muslim. Komentarnya menyusul beberapa hari bentrokan kekerasan setelah pasukan keamanan memberlakukan tindakan keamanan kontroversial di Masjis al Aqsa.
Berbicara kepada media lokal, Livni mengatakan bahwa Israel “bergerak satu langkah” untuk mengubah konfliknya melawan orang-orang Palestina menjadi perang muslim melawan Israel. Dia menegaskan pemerintah Benjamin Netanyahu harus bersikap tegas dan mencegah agar skenario semacam itu tidak terjadi.
Ketegangan meningkat sejak saat itu, dengan para pemimpin muslim di seluruh dunia mengklaim bahwa langkah-langkah keamanan yang diberlakukan didorong oleh keinginan Israel untuk memperluas kontrolnya atas wilayah tersebut dan menyerukan demonstrasi massa Jumat 21 Juli 2017.
Sebagai tanggapan, pihak berwenang melarang pria muslim berusia di bawah 50 tahun memasuki Kota Tua Yerusalem, tempat tempat suci tersebut berada.
Selama akhir pekan berikutnya, terjadi bentrokan antara muslim dan pasukan keamanan Israel yang mengakibatkan tiga orang Palestina terbunuh. Setelah itu seorang warga Palestina berusia 20 tahun menikam dan membunuh tiga orang Israel di rumah mereka di Tepi Barat.
Jason Greenblatt, utusan Timur Tengah Presiden AS Donald Trump, dilaporkan telah dikirim ke Tel Aviv untuk mencoba meredakan krisis yang sedang berkembang. Ini akan menjadi tindakan pertama Trump terhadap konflik Palestina-Israel.
Israel telah berulang kali terlibat konflik dengan tetangganya di Arab selama masa 69 tahun. Sebenarnya, negara ini telah berada dalam keadaan perang yang hampir abadi sejak didirikan pada tahun 1948.
Pertama, perang “kemerdekaan” Israel dimulai pada tahun 1947 ketika milisi Yahudi bertempur melawan Mesir, Yordania, Lebanon, dan Suriah, dan diakhiri dengan penciptaan negara.
Selama hampir 20 tahun kemudian, Pasukan Pertahanan Israel melakukan perang gerilya melawan gerilyawan Arab yang berasal dari Suriah, Mesir, dan Yordania, yang memuncak pada “Perang Enam Hari” pada tahun 1967, sebuah konflik penuh dengan Mesir, Yordania, dan Suriah, serta pasukan dari Irak, Arab Saudi, Kuwait dan Aljazair.
Setelah perang, Israel memperluas wilayahnya secara signifikan, merebut Tepi Barat (termasuk Yerusalem Timur) dari Yordania, Dataran Tinggi Golan dari Syria, Sinai dan Gaza dari Mesir.
Mereka mempertahankan sebagian besar wilayah ini di zaman modern, terlepas dari Perang Yom Kippur bulan Oktober 1973, yang dilancarkan oleh Israel melawan koalisi negara-negara Arab yang dipimpin oleh Mesir dan Suriah, yang bertujuan untuk merebut kembali tanah yang hilang enam tahun sebelumnya.
Baca juga:
Mau Kuat Sendiri, Israel Tuduh Iran Kirim Senjata ke Hizbullah dengan Pesawat Sipil