Kita akan membahas lagi kejadian jet tempur Su-22 Suriah yang ditembak jatuh F/A-18E Super Hornet milik Amerika Serikat pada 18 Juni 2017 lalu.
Sebenarnya bukan luar biasa ketika Super Hornet bisa menjatuhkan Fitter, mengingat dua pesawat ini memang dibangun dengan misi yang berbeda, di mana F/A-18E adalah pesawat multiperan dengan kemampuan pertempuran udara ke udara, sedang Su-22 adalah pesawat serang. Selain itu kedua pesawat juga memiliki umur yang jauh berbeda.
Yang luar biasa adalah bagaiman Su-22 yang sudah berusia 30 tahunan tersebut mampu mengecoh salah satu rudal udara ke udara paling canggih di dunia AIM-9X Sidewinder.
Sukhoi Su-22 adalah pesawat tempur era Perang Dingin yang dirancang untuk menyerang sasaran di darat. Sebuah pesawat dengan satu kursi, seperti banyak pesawat yang dirancang pada 1970-an, memiliki sayap ayun. Fitur ini memungkinkan pesawat untuk memaksimalkan jangkauan tempurnya.
Disebut NATO sebagai Fitter, Su-22 dirancang semata-mata sebagai pesawat terbang serangan darat tanpa kemampuan udara ke udara. Pesawat ini diproduksi dalam jumlah besar dan banyak dijual ke luar negeri. Desainnya sudah usang, dan meski banyak angkatan udara masih menerbangkan Fitter, itu bukan pilihan tetapi lebih karena dipaksa keadaan.
Sementara Super Hornet adalah pesawat top-of-the-line Angkatan Laut Amerika. Pesawat ini dipersenjatai dengan rudal udara ke udara jarak pendek AIM-9X Sidewinder dan rudal jarak menengah AIM-120 AMRAAM yang dipandu radar. Ini adalah kombinasi kuat antara rudal udara ke udara, yang mewakili teknologi militer terbaik Amerika.

Seperti dilaporkan CNN, Super Hornet mengunci Su-22 Fitter dari jarak 1,5 mil. Super Hornet meluncurkan AIM-9X yang dipandu inframerah, dan pilot Suriah melepaskan flare untuk mengecoh peluru kendali. Triknya berhasil, dan rudal Amerika tidak mencapai sasaran. Super Hornet kemudian meluncurkan rudal AMRAAM dengan menggunakan panduan radar. Flare Su-22 tidak mampu mempengaruhinya hingga menghantam pesawat dan jatuh.
Lalu mengapa AIM-9X gagal? Seorang kontributor majalah Combat Aircraft mengemukakan teori yang masuk akal. Meskipun 9X dirancang untuk melawan flare defensif, namun mungkin hanya khusus melawan flare Amerika.
Selama tahun 1980an, Angkatan Udara Amerika memiliki Skuadron Test & Evaluation 4477 yang bekerja di area uji Tonopah di Nevada. Mereka menerbangkan pesawat tempur Soviet yang dikumpulkan dari seluruh dunia untuk menentukan kemampuan mereka.
Menurut cerita tersebut, Angkatan Udara menerima dispenser flare jet tempur Su-25 yang ditembak jatuh di atas Afghanistan. Dispenser itu segera dipasang di MiG-21 yang dioperasikan oleh skuadron 4477 dan dibawa terbang untuk pengujian melawan peluru kendali infra merah terbaru Amerika, AIM-9P.
Apa yang terjadi selanjutnya mengejutkan Angkatan Udara. Sidewinder AIM-9P, dengan mudah dialihkan oleh flare Soviet. Masalahnya adalah bahwa AIM-9P terlalu terbiasa dengan karakteristik flare Amerika yang telah diuji coba dan tidak terhadap flare Soviet, yang menurut komandan skuadron antara tahun 1985 dan 1987 tidak satupun dari mereka terlihat sama.
Apakah hal ini juga yang terjadi di langit di atas Suriah? AIM-9X, sebuah rudal yang relatif baru, seharusnya dengan mudah menurunkan Su-22 yang sudah tua. Banyak angkatan udara, terutama sekutu NATO Amerika, bergantung pada AIM-9X sebagai rudal jarak dekat mereka. Berita bahwa mereka tidak dapat menembak jatuh jet tempur berusia 30 tahun tentu akan mengganggu banyak pihak.
Baca juga:
Tembakan Super Hornet ke Su-22 Suriah Ternyata Sempat Meleset