
Di Libya, intelijen militer Amerika juga telah mendeteksi pasukan Rusia di sebuah pangkalan udara di barat jauh Mesir dekat perbatasan Libya. Penyebaran kekuatan yang oleh para pejabat Amerika dilihat sebagai gangguan di bangsa yang dilanda perang saudara. Meski kondisi di Libya yang kacau balau sesungguhnya diciptakan oleh operasi Barat dan Amerika.
Amerika yang mendukung pemerintahan Accord Nasional yang didukung PBB dan negara barat, Rusia mengambil posisi berlawanan dengan mendekati Jenderal Khalifa Haftar, seorang komandan militer yang mengkontrol wilayah timur negara itu.
Jenderal Thomas Waldhauser, komandan pasukan Amerika di Afrika mengaku sangat khawatir dengan hal ini. “Mereka berada di darat, mereka mencoba untuk mempengaruhi tindakan, kita menonton apa yang mereka lakukan dengan perhatian besar,” kata Waldhauser kepada wartawan di Pentagon Jumat.
“Selain sisi militer ini, kita telah melihat beberapa kegiatan baru-baru ini dalam usaha bisnis, apakah minyaknya, apakah penjualan senjata,” tambahnya.
Pernyataan serupa juga didukung Wakil Sekretaris Jenderal NATO, Rose Gottemoeller. “Saya sangat prihatin tentang pasukan Rusia tampaknya berkumpul untuk mempengaruhi situasi di sana,” katanya di Brussels Sabtu.
Borshchevskaya dari Washington Institute, yang fokus pada peran Rusia di Timur Tengah, menambahkan bahwa Moskow sangat tertarik muncul di Mediterania, dan melalui upaya diplomatik dan penempatan aset militer, berusaha untuk meningkatkan kehadirannya di sana, karena itu secara tradisional menjadi kubu NATO.
Tapi dihadapkan dengan ekonomi babak belur oleh harga minyak yang rendah dan sanksi internasional atas tindakannya di Ukraina, intervensi Rusia akan mengambil cara dengan biaya murah.
Di luar Suriah, Moskow sebagian besar telah menghindari intervensi militer yang kuat, lebih memilih bantuan klandestin dan manuver diplomatik. “Putin menyadari keterbatasannya dan menghindari skenario Afghanistan kedua untuk Rusia,” kata Borshchevskaya.