Tanggal Mulainya Perang China-Jepang Diajukan Enam Tahun

Tanggal Mulainya Perang China-Jepang Diajukan Enam Tahun

China akan memajukan tanggal dimulainya perang negara itu dengan Jepang di era  Perang Dunia II  lebih awal enam tahun dalam buku teks pendidikan. Langkah ini dilakukan untuk meningkatkan pendidikan patriotik, media pemerintah melaporkan.

Perang China melawan agresi Jepang, nama yang diberikan China untuk perang dengan Jepang, sekarang akan lebih lama 14 tahun yaitu sejak 1931-1945, yang sebelumnya hanya diajarkan selama delapan tahun, demikian Kementerian Pendidikan China kepada sekolah-sekolah pada 3 Januari.

Semua kelas, buku pelajaran dan kursus di SD, SMP, SMA dan universitas akan diubah untuk membawa mereka sejalan dengan para ahli sejarah, kata surat yang diterbitkan pada hari Selasa pada akun WeChat dari Harian Rakyat, koran milik Partai Komunis China.

Perubahan membuat insiden Mukden pada tahun 1931, ledakan di dekat jalur kereta api milik Jepang di China utara yang menyebabkan invasi Jepang dan pendudukan Manchuria, menjadi titik awal untuk perang, kata Harian Rakyat.

Sebelumnya, insiden Jembatan Marco Polo tahun 1937, pertempuran antara tentara Jepang dan pasukan China dekat Beijing, dinilai sebagai tanda awal dari perang.

Menghubungkan dua peristiwa menjelaskan bagaimana pendudukan regional China Utara di Manchuria kemudian menyebabkan perang nasional, kata surat kabar itu, menambahkan tindakan pengubahan tanggal perang itu juga akan meningkatkan pendidikan patriotik.

Hubungan China-Jepang telah lama terpengaruh oleh apa yang China lihat sebagai kegagalan Jepang untuk menebus tindakan semasa perang.

Jepang mengubah buku pelajaran sekolah pada tahun 2016, merevisi beberapa referensi yang berkaitan dengan ke Pembantaian Nanjing 1937, mendorong China untuk mengajukan protes resmi kepada Jepang pada bulan Maret tahun itu.

China mengatakan pasukan Jepang menewaskan 300.000 orang di kota yang kemudian menjadi ibukota tersebut, tetapi pengadilan pasca perang yang dilakukan pihak sekutu menyebutkan korban tewas hanya sekitar setengah dari jumlah yang disebutkan tersebut dan bahkan beberapa pihak konservatif Jepang mengatakan bahwa jumlah korban pembantaian adalah hasil rekayasa atau dibesar-besarkan.