Pejabat pertahanan di Pentagon mengatakan mereka perlu sampai US$ 500 juta atau sekitar Rp6,5 triliun untuk menyelesaikan tahap pengembangan F-35, yang sampai saat ini anggarannya telah membengkak 50% dari anggaran yang direncanakan.
Sebagaimana dilaporkan Bloomberg Kamis 3 November 2016, Kantor Program F-35 pada Oktober 2016 lalu telah mengajukan permintaan ke Dewan Akuisisi Pertahanan selama review tertutup bulan lalu.
Dalam memo delapan halaman tertanggal 14 Oktober yang didapat Bloomberg News, Michael Gilmore, Direktur Pengujian Operasional, merekomendasikan bahwa program ini membutuhkan sumber daya tambahan untuk memberikan kemampuan penuh pesawat.
Meski US$ 500 juta bisa dikatakan kecil dibanding apa yang sudah dikeluarkan dalam tahap pengembangan yang mencapai US$55 miliar , Frank Kendall, wakil menteri pertahanan untuk akuisisi, mengatakan dalam sebuah e-mail bahwa dia kecewa mendengar bahwa dana tambahan masih diperlukan “Kami bekerja untuk memperkecil kekurangan dan untuk memberikan pilihan gunamengatasi hal itu. ”
Gilmore, direktur pengujian, mengatakan dalam sebuah e-mail ia memperkirakan uji penerbangan yang dibutuhkan untuk menyelesaikan tahap pembangunan tidak akan selesai sampai November 2018, atau mundur setidaknya satu tahun dari yang direncanakan, “Kecuali program diperbolehkan untuk melewati / menghapus evaluasi yang direncanakan.”
Permintaan anggaran tambahan ini telah menjadi masalah terbaru yang dimunculkan dari program F-35 yang telah babak belur dengan berbagai masalah sebelumnya. Program ini telah mengalami penundaan panjang dan pembengkakan biaya yang sangat besar.
Anggaran seumur hidup secara keseluruhan telah menggelembung lebih dari US$ 1,5 triliun, menjadikannya F-35 sebagai sistem senjata paling mahal yang pernah dibangun oleh AS.
Meningkatnya biaya bukan satu-satunya masalah yang dihadapi F-35. Pesawat generasi kelima ini juga menghadapi masalah teknis dan kemampuan. Jet siluman ini telah memiliki banyak insiden ketika sedang dibangun, seperti masalah elektrik, perangkat lunak, dan masalah yang terkait dengan sistem helm canggih.
Sejauh ini Angkatan Udara dan Marinir telah memiliki pesawat dalam status siap tempur dan mulai mengintegrasikan ke dalam skuadron mereka. Militer baru menerima pengiriman dari sekitar 180 dari pesawat dari Lockheed Martin sejauh ini, meskipun berencana untuk membeli lebih dari 2.400.
Baca juga:
Bocor ke Media, Inilah 3 Skenario Norwegia Gunakan F-35 untuk Lawan Rusia