Presiden Filipina Benigno Aquino mengatakan di sebuah forum terbuka di Manila bahwa akan segera berinvestasi dalam mengembangkan armada kapal selam sendiri. Rencana ini diambil mengikuti jejak Vietnam dan Indonesia, yang keduanya telah membeli kapal selam kelas Kilo Rusia karena ketegangan meningkat di Laut China Selatan.
“Kita mungkin harus menjalani berbagai aspek kemampuan militer kita sendiri yang pernah menjadi bagian dari kebutuhan kita,” katanya. Dia menambahkan bahwa Filipina tidak berniat perang sebagai sarana untuk mendapatkan kembali wilayah.
“Semua mengakui bahwa perang adalah hal yang sia-sia. Filipina, misalnya, meninggalkan perang sebagai instrumen kebijakan luar negeri,” katanya Rabu 30 Maret 2016 sebagaimana dikutip Maritime Executive
Pengadilan Tetap Arbitrase di Den Haag rencananya akan segera memutuskan kasus Filipina terhadap klaim China atas rantai Kepulauan Spratly, di mana China telah mengubah terumbu menjadi untuk lapangan terbang dan radar. Banyak pengamat memprediksi China, tidak akan menang, dan mungkin bereaksi negatif terhadap hasilnya.
Di Washington pada hari Kamis 31 Maret 2016, Presiden China Xi Jinping mengatakan bahwa negaranya akan tegas dalam mempertahankan kedaulatannya di Laut China Selatan. Tetapi sengketa itu harus diselesaikan secara damai.
Dia menegaskan janji Beijing untuk menegakkan kebebasan navigasi untuk kapal dan pesawat udara asing.
Para pejabat AS baru-baru ini telah menyatakan kekhawatirannya bahwa putusan yang tidak menguntungkan dalam kasus arbitrase Kepulauan Spratly bisa mendorong China untuk mendeklarasikan zona identifikasi pertahanan udara seperti yang terjadi di Laut China Timur pada tahun 2013.
Wakil Menteri Pertahanan AS Robert Work mengatakan AS akan melihat langkah tersebut sebagai destabilisasi.