Amerika Serikat menekan Presiden China Xi Jinping untuk memperluas janji bebas-militerisasinya terhadap seluruh Laut China Selatan, meskipun ada kegiatan militer Beijing baru-baru ini di wilayah itu.
Direktur senior untuk urusan Asia di Dewan Keamanan Nasional AS Daniel Kritenbrink berbicara di tengah meningkatnya ketegangan antara kedua negara karena China menempatkan peluru kendali permukaan ke udara, peralatan radar, bom udara dan pesawat tempur di sebuah pulau kecil di kawasan Laut China Selatan.
Selama kunjungan kenegaraan pada September, Presiden Xi menegaskan bahwa China tidak berniat untuk melanjutkan militerisasi dalam rangkaian Kepulauan Spratly, yang disebut Nansha dalam bahasa China.
Pulau-pulau itu diklaim sebagian atau keseluruhan oleh Brunei, China, Malaysia, Filipina, dan Vietnam. “Kami pikir itu akan baik jika janji bebas militerisasi itu, jika dia (Xi) memperluas janji itu di seluruh Laut China Selatan,” kata Kritenbrink kepada sebuah forum di Pusat Studi Strategis dan Internasional Sabtu 27 Februari 2016.
“Kita akan mendorong teman-teman China dan negara-negara lain di kawasan itu untuk menahan diri melakukan tindakan yang dapat meningkatkan ketegangan.” China mengklaim hampir seluruh kawasan itu, tempat yang dilalui sepertiga minyak dunia. Sementara beberapa negara pesisir lainnya telah bersaing mengklaim wilayah itu, seperti halnya Taiwan. “Ini adalah jalur perairan yang sangat penting karena dilewati banyak arus perdagangan internasional,” ujar Kritenbrink.
“Kami khawatir China telah melakukan sejumlah langkah sepihak selama beberapa tahun terakhir, yang kami pikir dapat meningkatkan ketegangan dan menganggu kestabilan di wilayah itu.” Negara terbesar di Asia itu menggunakan kapal keruk untuk mengubah terumbu dan dataran rendah menjadi daratan yang lebih luas untuk landasan terbang dan kegunaan militer lain untuk mendukung klaim kedaulatannya.
Awal pekan ini, pemimpin Komando Pasifik Amerika Serikat (AS) Laksamana Harry Harris memperingatkan China mengubah tata ruang operasional di wilayah itu. Dia telah meminta lebih banyak terbang di atas kawasan itu dan patroli. “Perang singkat dengan Amerika Serikat, China akan menggunakan kekuasaan de facto atas Laut China Selatan,” tutur Harris.
Kritenbrink juga mendesak China untuk menghormati keputusan pengadilan internasional pada akhir tahun ini terkait sengketa Manila dengan Beijing atas klaim wilayah di Laut China Selatan.
Kritenbrink memperkirakan putusan mendatang dari Pengadilan Tetap Arbitrase menjadi sangat penting karena akan menandai hasil dari proses yang memungkinkan negara-negara untuk menggunakan sarana hukum damai untuk menyelesaikan persengketaan.
China tidak mengakui otoritas pengadilan yang bermarkas di Den Haag, Belanda, tapi telah menyetujui Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) tentang Hukum Laut yang menjadi pusat kasus. “Ketika putusan itu keluar, maka akan mengikat kedua pihak.” “Itu akan menjadi momen penting yang kita semua di wilayah ini harus perhatikan,” kata Kritenbrink.