Pada pertengahan 1980-an, Angkatan Laut membutuhkan pengganti A-6 Intruder. McDonnell Douglas kemudian mengembangkan A-12 Avenger, sebuah bomber subsonik yang secara visual mirip B-2 Spirit.
Pesawat ini menggabungkan kemampuan siluman dengan fleksibilitas tinggi salah satunya dengan mampu beroperasi di kapal induk. A-12 menjanjikan kemampuan serangan yang mendalam yang tak tertandingi. Bahkan Angkatan Udara menyatakan minatnya terhadap A-12 sebagai pengganti F-111 Aardvark.
Angkatan Laut awalnya berencana membeli 620 pesawat dan Korps Marinir membeli tambahan 238 pesawat. Angkatan Udara ingin mendapatkan 400, dengan biaya rata-rata satu pesawat US $ 100 juta.
A-12 dirancang untuk terbang lebih cepat dan daya jangkau lebih jauh dibanding A-6E, serta mampu membawa bom-beban besar di teluk internal. Seperti Advanced Tactial Fighter (ATF), A-12 diharapkan memiliki keandalan yang lebih besar dari pesawat saat itu yakni dua kali lipat dari A-6E
Tapi ada masalah. Harapan awal tentang lapisan siluman terbukti sulit diwujudkan, dan perbaikan secara substansial meningkatkan berat Avenger. Beban melonjak melebihi 30 ton, 30% lebih spesifikasi desain, dan mendekati batas maksimal pesawat yang bisa ditampung kapal induk. Program ini juga mengalami masalah yang kompleks dengan Inverse Synthetic Aperture Radar sistem, serta keterlambatan dalam komponen avionik canggih.