Amerika telah mengumumkan rencana penempatan persenjataan berat di Eropa Timur dan Tengah untuk meyakinkan sekutu NATO. Rusia telah menyatakan bahwa pra-posisi alat berat di negara-negara bekas Soviet melanggar perjanjian Rusia-NATO tahun 1997, yag menyatakan Aliansi tidak akan menempatkan pasukan tempur besar dan permanen di Timur dan Eropa Tengah.
Tetapi mantan Panglima Tertinggi Sekutu NATO Laksamana James Stavridis mengatakan rencana AS itu tidak melanggar perjanjian karena tidak menempatkan pasukan. “Tidak ada pasukan secara permanen ditempatkan di Eropa timur, hanya peralatan. Tidak ada pelanggaran kesepakatan apapun. Pra-posisi peralatan tidak membangun pangkalan permanen atau memiliki pasukan secara permanen,” katanya kepada Ria Novosti Kamis 25 Juni 2015.
Pada hari Selasa, Menteri Pertahanan AS Ash Carter mengumumkan AS akan mengirim tank, artileri, kendaraan lapis baja dan peralatan lainnya ke Eropa Timur deengan kontingen brigade berukuran sekitar 5.000 tentara.
Pengumuman itu datang sehari setelah Carter mengatakan AS akan memberikan kontribusi pasukan operasi khusus, intelijen dan peralatan untuk pasukan NATO respon yang cepat.
Stavridis menjelaskan perangkat keras militer dirancang untuk tentara AS yang sudah berbasis di Eropa atau Amerika Serikat yang akan digunakan untuk pelatihan dan peningkatan kesiapan tempur.
“Ini akan meningkatkan kesiapan tempur dengan memiliki peralatan yang sudah maju dan tentara kemudian dapat hanya terbang di pesawat untuk menikah dengan peralatan,” Stavridis menjelaskan, menegaskan bahwa tidak ada tentara AS akan secara permanen digunakan dengan peralatan.
Negara-negara Baltik Lithuania, Estonia dan Latvia, serta Polandia, Rumania dan Bulgaria, telah sepakat untuk menjadi tuan rumah perangkat keras militer AS.
“Ini [pre-positioning] adalah respon langsung terhadap agresi Rusia di Ukraina, dan aneksasi Crimea, yang telah membuat Eropa Timur sangat gugup karena alasan sejarah dan geopolitik yang jelas.”
Moskow telah berulang kali membantah terlibat di Ukraina dan menuduh Barat merekayasa kudeta yang menggulingkan Presiden Ukraina terpilih Viktor Yanukovych tahun lalu.
Moskow memandang aneksasi Crimea sebagai reunifikasi setelah semenanjung yang sebagian besar penduduknya etnis Rusia memenangkan suara dalam referendum untuk bergabung Rusia Maret 2014. Uni Eropa dan Amerika Serikat menganggap referendum dan reunifikasi ilegal.