AS Perlu Kaji Ulang Soal Strategi Bom Pintar

AS Perlu Kaji Ulang Soal Strategi Bom Pintar

USAF_F-15C
Di tengah perkembangan sistem pertahanan banyak negara yang semakin canggih, Amerika Serikat membutuhkan taktik baru termasuk senjata yang lebih banyak.
Washington selama ini terbiasa berperang di negara yang lemah seperti Afghanistan, Libya, Suriah, Irak, dan Yaman yang nyaris tak memiliki sistem pertahanan canggih. Di lokasi perang semacam ini mungkin masih relevan menganggap bom pintar akan mencapai target mereka dengan akurat. Satu bom, satu sasaran, satu ledakan.

Tetapi asumsi itu tidak lagi aman sekarang ini, kata sebuah studi baru dari Center for Strategic and Budgetary Assessments (CSBA). Sebuah lembaga berpengaruh di AS. Sistem penanggulangan senjata tumbuh lebih canggih saat ini. Rudal anti-pesawat canggih dapat menghantam bom pintar di langit. Jammers dapat merebut radar dan GPS. Laser dan microwave bertenaga tinggi menjadi senjata praktis untuk melawan rudal masuk. Jadi bom pintar tidak akan selalu menjalankan tugasnya dengan baik.

Lebih buruk lagi, ketika prosentase senjata bisa menghantam target turun maka pasti dibutuhkan peningkatan jumlah senjata. Mark Gunzinger dan Bryan Clark yang menulis laporan CSBA mengatakan “Jika musuh tidak dapat menghentikan senjata Anda, Anda memang perlu mengirim satu yang memiliki tingkat akurasi 95 persen untuk setiap tembakan. Tapi jika musuh dapat menghentikan bom pintar Anda dengan peluang keberhasilan 20 persen, Anda harus mengirim dua senjata untuk mencapai akurasi 95 persen. Jika senjata Anda hanya memiliki peluang 50-50, Anda perlu mengirim lima. Melawan musuh utama, seperti Iran atau (dalam skenario mimpi buruk) China, kita mungkin kehabisan senjata sebelum target habis,” katanya sebagaimana dikutip Breaking Defense.

Yang mengkhawatirkan juga, lanjut CSBA, Amerika akan kehilangan banyak sekali pesawat dalam perjalanan. Fakta mengejutkan ketika 96 persen dari senjata presisi Pentagon yang dibeli telah sejak 9/11 adalah rudal “serangan langsung”. Senjata-senjata ini relatif memiliki kisaran pendek. Sebagai contoh, Small Diameter Bomb (SDB) II memiliki sayap yang hanya bisa meluncur hingga 40 mil laut dari pesawat. Yang lebih tua dan lebih besar Joint Direct Attack Munition (JDAM) dapat meluncur hanya 13 mil.

Melawan musuh berteknologi rendah seperti ISIS, pesawat AS yang beada di jarak 13 mil dari target mungkin ibaratnya sudah ada di bulan, yang diartikan sangat aman dari senjata musuh. Tetapi dengan musuh yang memiliki senjata anti-pesawat modern, pesawat AS yang ada dalam jarak 13 atau bahkan 40 mil itu sama saja memohon untuk ditembak jatuh.

“Singkatnya, kita tidak membeli senjata cukup pintar untuk perang besar dan yang kami beli sebagian besar salah,” kata laporan itu

Sebaliknya, masih menurut laporan CSBA Amerika memiliki terlalu sedikit senjata jarak jauh seperti rudal jelajah, yang bisa ditembakkan dari jarak aman. Salah satunya karena memang mahal. “Bom serangan langsng yang dibeli sejak tahun 2001 rata-rata biayanya US$ 55.500. Sementara senjata rentang panjang dipandu rata biaya $ 1.100.000, dua puluh kali lebih mahal.”

Jika kembali ke invasi Irak 2003 dengan senjata yang langsung menyerang, Gunzinger dan Clark menulis, “Dibutuhkan biaya US$ 22 miliar untuk PGM saja. Bahkan jika kita menulis sebuah cek kosong dalam krisis, mereka mengatakan , basis industri mungkin tidak bisa jalan cukup cepat. Apapun yang kita lakukan tentang masalah bom pintar, kita harus mulai bekerja sekarang ini.”

Dalam jangka panjang, lanjut lembaga ini, AS harus membangun senjata jarak menengah baru yang berada pada spot menengah antara senjata serangan langsung dan rudal jarak jauh yang mahal. Sebagian besar senjata AS yang ada memiliki rentang kurang dari 50 mil laut atau lebih dari 400, tulis mereka, tetapi senjata dalam 50-400 harus jauh lebih terjangkau daripada rudal jelajah namun jauh lebih mampu menembus pertahanan udara canggih. JASSM yang memiliki jangkauan 200 mill adalah adalah salah satu dari senjata yang ada dalam dalam “sweet spot” ini.

“Senjata baru bisa menggabungkan teknologi siluman dan jamming, untuk membuat lebih sulit bagi pertahanan musuh dalam mendeteksi dan target mereka. Beberapa mungkin hipersonik, mencapai kecepatan di atas Mach 5 untuk lari melalui pertahanan musuh sebelum mereka dapat bereaksi.”