Saya bukanlah seorang anggota tim sukses calon presiden manapun. Bahkan sejujurnya sampai saat ini saya masih belum menentukan pilihan apakah akan memilih Prabowo atau Jokowi. Tetapi saya ingin menuliskan sesuatu yang membuat saya berpikir keras dalam beberapa jam terakhir.
Beberapa waktu lalu mantan Ketua MPR Amien Rais dihujat di mana-mana karena menggunakan istilah semangat Perang Badar untuk menggambarkan upaya memenangkan Prabowo-Hatta Rajasa dalam pemilihan presiden 2014. Amien dinilai terlalu provokatif karena istilah itu seolah menggambarkan pihak lawan sebagai kaum jahiliyah yang diperangi kaum muslim dalam perang pertama umat Islam kala itu.
Waktu berlalu dan tidak sampai sebulan kemudian tepatnya ketika debat capres-cawapres di Balai Kartini Jakarta Senin 9 Juni 2014 malam, kamera menangkap ada secarik kertas di selipan baju Joko Widodo. Setelah dikatakan itu sebagai contekan, akhirnya pihak Jokowi mengakui kertas itu berisi titipan doa dari sang ibu tercinta. Doa yang ditulis adalah doa Nabi Musa ketika menghadapi Firaun. Dan sampai saya tulis ini, tidak ada pihak yang dengan gencar menghujat Jokowi dengan menuding bahwa pernyataan itu sebagai hal yang provokatif. Seperti yang ditujukan kepada Amien Rais.
Mari kita lihat secara pikiran imbang, fair dan jujur terhadap dua kejadian tersebut. Kenapa kemudian ada perbedaan efek dan reaksi? Kenapa Amien dihujat dan kenapa Jokowi tidak?
Mungkin ada yang mengatakan kedua hal itu beda. Amien menggunakan istilah perang. Sementara Jokowi menggunakan istilah doa. Padahal itu perbandingan yang sebenarnya tidak fair. Karena dalam tata bahasa perbandingan dua kata atau kalimat harus dilakukan dalam hubungan yang seimbang.
Mari kita pahami dengan emosi yang tenang. Jika mau mengatakan bahwa yang dibawa Jokowi adalah doa, maka tidak bisa membandingkan dengan perang. Tetapi harus membandingkan dengan kata semangat. Kita tulis dulu pernyataan Amien Rais adalah SEMANGAT PERANG BADAR. Sementara dari kasus Jokowi adalah DOA NABI MUSA MENGHADAPI FIRAUN. Kata SEMANGAT sejajar dengan DOA. Sementara kata PERANG BADAR sejajar dengan DOA NABI MUSA MENGHADAPI FIRAUN.
Kalau yang dibandingkan adalah doa dan semangat baru pas. Dan keduanya adalah memiliki maksud yang sama. Bagaimana Amien mengambil semangat perang badar untuk kemudian digunakan dalam berkompetisi. Tidak ada salahnya mengambil semangat dari sebuah sejarah. Dan hal itulah salah satu fungsi mempelajari sejarah. Kenapa orang mempelajari perang Diponegoro, Perang Aceh, dan perang-perang lain? Tidak sekadar untuk tahu dan hapal kapan perang itu terjadi tetapi untuk bisa mewarisi semangat dari perang tersebut.
Sebaliknya Jokowi menggunakan doa untuk memunculkan semangat dan keberanian dalam berkompetisi. Inipun juga jauh dari salah. Setiap orang boleh bahkan harus berdoa untuk bisa memunculkan semangat, keteguhan, harapan. Artinya, jika dua hal itu yang digunakan untuk perbandingan, maka seharusnya tidak ada hujatan untuk siapapun. Tidak untuk Jokowi tidak untuk Amien.
Tetapi kenapa Amien dihujat? Karena pernyataan itu dilihat dari siapa yang dihadapi. Lebih jelasnya begini, Perang Badar adalah perang kaum muslim menghadapi kaum jahiliyah Qurais. Nah dengan demikian Amien dinilai keterlaluan karena mengganggap kubu lawan yakni Jokowi-JK sebagai kaum yang sejajar dengan kaum jahiliyah Qurais. Wajar jika dihujat jika menggunakan cara pandang seperti itu. Dalam kasus ini sepertinya kata SEMANGAT tidak terbaca dan orang lebih senang atau fokus pada kata PERANG BADAR.
Tetapi jika sudut pandang seperti itu yang digunakan, maka kita juga harus fair dalam kasus Jokowi. Pernyataan DOA NABI MUSA MENGHADAPI FIRAUN juga harus dilihat dari sudut pandang siapa yang dihadapi. Artinya kubu Jokowi juga sama saja mengatakan kubu lawan sejajar dengan kubu Firaun. Tetapi sepertinya kata NABI MUSA MENGHADAPI FIRAUN tidak begitu terbaca dan lebih suka atau fokus pada kata DOA.
Pertanyaannya lebih parah mana kaum jahiliyah Qurais atau Firaun. Biar adil kita samakan saja. Bahwa keduanya sama-sama brengsek. Sehingga jika seharusnya Amien Rais dihujat, pihak-pihak yang menghujat kemarin juga harus dengan lapang dada menghujat pernyataan Jokowi itu.
Tetapi sungguh bukan untuk itu saya membuat tulisan ini. Saya hanya ingin mengajak semua untuk fair dan imbang dalam melihat sebuah persoalan. Jangan memposisikan dua hal yang hakikatnya sama dalam posisi yang berbeda. Karena hasilnya adalah ketidakberimbangan yang menjerumuskan. Contoh kasus semangat perang badar dan doa Nabi Musa menghadapi Firaun hanyalah sebuah contoh kecil dari sekian banyak ketidakberimbangan berpikir dan berpendapat yang bertebaran di mana-mana saat ini.
Akhir-akhir ini, banyak sekali tulisan baik di status FB, Twitter, status BBM dsb yang diakhiri dengan dua kata yakni GAGAL PAHAM. Dua kata yang biasanya digunakan sebagai penutup atas sebuah berita atau pernyataan yang dianggap aneh.
Pertanyaannya bagaimanan tidak gagal kalau kita telah memberi sekat-sekat di otak kita sendiri hingga tidak bisa merambah di ruang yang lebih luas dan berimbang. Bagaimana tidak gagal paham jika pikiran dan batin kita sudah ditimbun dengan subjektivitas yang membabi buta. Bagaimana mau menemukan pemahaman jika kita sudah merasa paling benar, paling pintar, paling hebat. Bagaimana mau berhasil paham ketika kita sudah memaksakan orang lain untuk sependapat dengan kita. Jadi marilah berpikir bening.