“Mbah Marmi seda (meninggal)” kata istriku sesaat setelah membuka ponselnya.
Aku terperanjak dan perasaan sedih langsung menyergap. Tetapi aku mencoba menahan diri. Karena saat kabar itu datang kami sekeluarga sedang makan bersama. Aku tidak ingin merusak suasana.
“Yang terakhir akhirnya menyusul juga,” Cuma itu kalimat yan keluar.
Mbah Marmi adalah satu dari lima bersaudara dengan salah satunya adalah bapakku. Bapak nomer tiga dan Mbah Marmi adiknya pas. Empat yang lain sudah meninggal cukup lama.
“Malam ini saja langsung ke sana,” kata istriku. Mbah Marmi memang tinggal di Jogja. Meski lumayan jauh dari rumah
“Tidak. Besok saja,” jawabku. Aku melihat malam ini tidak memungkinkan. Karena aku lihat dua anakku dalam kondisi sudah ngantuk dan lelah.
“Sekalian besok ikut ngantar sampai kuburan. Kita ke Gunungkidul,” jawabku lagi. Meski belum ada kabar soal pemakaman, aku yakin Mbah Marmi akan dibawa ke kampung kelahirannya. Dikubur di makam di mana kakak dan adiknya (termasuk bapakku) serta suaminya dimakamkan.
Aku ingin mengantar Mbah Marmi hingga pemakaman. Beliau telah banyak berjasa pada keluargaku. Sangat mencintai kami dan tentu saja beliau adalah yang terakhir dari keluarga bapak yang meninggal. Selain itu aku juga ingat kakak pertamaku yang tinggal di Jogja sedang di Bekasi. Jadi kalau aku tidak ikut ke pemakaman, tidak akan ada yang mewakili keluarga bapak. Meski risikonya, aku harus membawa laptop karena harus tetap bekerja.
Pagi harinya…
Sebelum jam 07.00 WIB aku dan istriku sudah menuju rumah duka. Jam 10.00 rencananya jenazah akan dibawa ke Karangmojo.
Sesampai di sana, sudah banyak orang. Tetapi suasana sepi. Tidak ada lantunan ayat Alquran seperti kebanyakan suasana orang meninggal. “Ciri khas keluarga Bapak,” batinku saat merasakan suasana itu.
Setelah menyolatkan dan berbincang, 1 jam kemudian aku pamit ke anak-anak Mbah Marmi. “Om, aku mendahului ke Pondok. Nanti kita ketemu di sana,” pamitku ke anak kedua Mbah Marmi. “Aku gak bisa kalau disuruh mengikuti pergerakan ambulans.” Tambahku.
“Ok Mas,” jawabnya singkat. Kami pun meluncur ke Gunungkidul. Pondok yang dimaksud adalah Pondok Pesantren Al Hikmah yang ada di kampung halaman bapak dan Mbah Marmi. Pondok yang menjadi cita-cita mbah buyut. Tetapi baru terealisasi di generasi bapak.
Kurang dari 1 jam di kampung kelahiranku, sebuah ambulans meraung-raung. “Sudah datang yah,” kata istriku. Kampung kelahiranku (asal Ibu) dan kampung halaman Bapak bersebelahan. Dan untuk ke kampung halaman Bapak pasti melewati kampung ibu.
Segera aku dan istriku ke pondok. Jenazah sudah ditempatkan di masjid. Ratusan santri duduk dengan tenang di masjid. Lagi-lagi suasana senyap. Aku sibuk menemui banyak saudara yang ada di tempat itu. Sampai akhirnya aku melihat seorang laki-laki.
“Lik Sukino,” kataku sambil segera mendekat.
“Lik…” panggilanku segera membuat laki-laki itu menatap ke arahku.
“Ya Allah…Udin,” katanya. Segera aku cium tangan laki-laki itu.
“Bagaimana kabarnya, sama siapa?” tanyaku.
“Alhamdulillah baik. Sama batih (keluarga) itu di sana,” katanya sambil menunjuk sekelompok orang yang duduk di bawah pohon.
“Pak Lik Supali?” tanyaku lagi.
“Paklikmu Supali juga ada. Ayo ke sana,” aku segera dituntun laki-laki itu. Sementara istriku mengikuti dari belakang.
Seketika Lik Supali berubah wajah saat melihat aku datang.
“Udin…” katanya singkat. Dan tangannya pun aku cium. Kemudian aku salami satu persatu istri-istri dan anak-anak beliau. Dan tidak terasa, di tengah rasa sedih ada rasa gembira karena bertemu mereka.
Lik Supali adalah adik Lik Sukino. Putra dari Mbah Amat, adik simbahku dari garis bapak. Dan keduanya sangat dekat denganku saat kecil. Meski kampung kami berjauhan.
Mereka berasal dari Ngepung. Sebuah Dusun di Kecamatan Karangmojo. Sekitar 7 km dari kampungku. 30an tahun lalu, kalau mendengar kata Ngepung maka identik dengan daerah terpencil. Aku sendiri kalau ingat Ngepung yang terbayang adalah warna kemerah-merahan. Ini karena kalau kemarau daerah itu gersang dan tanahnya didominasi lempung warna merah. Jadi terlihat semakin kering. Dulu kalau ke sana seringnya diboncengkan sepeda oleh bapak. Agak besar, naik sepeda sendiri.
“Pohon mundunya masih Lik?” Belum lagi menjawab Lik Sukino tertawa kemekelen.
“Masih” katanya masih dengan tertawa.
“Kok ya masih ingat saja dengan Mundu to Din,” sambung Lik Supali.
“Tragedi Mundu,” sambungku sambil tertawa kecil.
Jadi ceritanya saat bermain ke Ngepung, ada pohon yang baru aku pertama lihat. Pohon berbuah lebat itu ternyata Mundu. Mirip jambu tetapi isinya agak-agak lembek. Akhirnya sama Lik Sukino dipetikkan. Aku lupa diri. Berbiji-biji buah aku makan.
Sampai rumah tragedi terjadi. Perutku mules gak karu-karuan.
“Lha kamu makan apa di Ngepung,” tanya bapak
“Mundu,” jawabku.
“Woalah….” Kata Bapak lagi. Dan akhirnya aku diare beberapa hari.
Lik Sukino kebetulan datang. Karena beliau menggarap sebagian sawah milik Ibu jadi memang sering datang. Beliaupun tertawa melihat kondisiku. “Lha le mangan raukuran kok mbakyu,” katanya ke Ibuku. Sejak itu aku trauma dengan Mundu. Itu adalah pertama dan terakhir aku memakannya.
Berbincang dengan orang Ngepung yang ada hanya mengenang masa-masa susah. Lik Sukino juga mengisahkan bagaimana meminjam televisi ke bapak untuk dibawa ke Ngepung “Ya saat adimu itu lahir. Untuk dilihat satu kampung,” katanya sambil menunjuk seorang perempuan. Dia adalah putri Lik Sukino.
“Kalau aki-nya habis, aku pikul sama Paklikmu Supali ke Plumbungan (ibukota kecamatan) untuk distrumke,” lanjutnya dengan terawa. Padahal ke Plumbungan bisa sampai 10 km. Aku terkekeh-kekeh mendengar kisah itu.
“Kita ini merasakan hidup di jaman susah dan jaman maju,” kata Lik Supali. “Sekarang semua sudah enak,” katanya lagi.
“Mbok ya sesekali ke Ngepung,” kata Lik Sukino. “Bapakmu itu dulu berjuang untuk Ngepung. Kalau tidak ada perjuangan bapakmu anak-anak Ngepung itu akan kesulitan sekolah,” katanya.
Aku manggut-manggut. Memang, di kampung itu ada SD Muhammadiyah. Dan itu dibangun bapak. Tetapi karena siswanya masih sedikit SD itu masih satu manajemen dengan SD Muhammadiyah Sumberjo. Tempat aku sekolah yang juga dirintis bapak di kampung halannya. Jadi SD Ngepung itu semacam kelas jarak jauhnya SD Sumberjo. Aku masih ingat saat THB atau Ebtanas, siswa-siswa Ngepung harus ke Sumberejo. Entah sekarang. Harusnya sudah mandiri. Gurunya juga harus wira-wiri ke kedua SD itu.
“Dulu susah izinnya. Akhirnya dibantu oleh Paklikmu Nawirin hingga sekolah bisa berdiri,” Paklik Nawirin adalah suami dari Mbah Marmi. Bulikku yang hari ini meninggal.
Segera perbincangan kami berhenti karena jenazah segera diberangkatkan ke kuburan. Rombongan Ngepung pamit untuk terus pulang. Sementara aku bersiap menuju pemakaman.
“Sempatkan waktu untuk ke Ngepung. Napak tilas perjuangan bapakmu,” pesan Lik Sukino. Yang segera aku jawab dengan “Insya Allah”
Sesampai di kuburan pikiran dan perasanku campur aduk. Melihat jenazah bulik dimasukkan ke kubur batinku berkata. “Bulik, titip salam buat bapak. Bilang ke Bapak, SD Muhammadiyah Ngepung masih berdiri dengan baik.”
Aku melangkah meninggalkan kuburan. Sempat melihat dari jauh kuburan bapak yang baru dua hari lalu aku ziarahi. “Aku akan ke Ngepung nanti Pak,” kataku dalam hati. ‘Tidak untuk memetik buah Mundu. Tetapi untuk mengenang perjuanganmu.”