Beberapa hari lalu…
Sehabis sholat subuh seperti biasa menikmati secangkir kopi sambil menunggu istri membuat teh. Harusnya merancang apa yang akan dilakukan hari ini. Tetapi seraut wajah berkelebat cepat. Membuat saya segera bangkit dan mandi.
“Mau ke mana?” tanya istri
“Ke makam bapak-ibu,” jawabku. Dan aku tidak menawari untuk mengajaknya karena sejumlah alasan. Salah satunya kalau dia ikut bisa-bisa dua jam lagi bisa berangkat. Karena banyak hal yang harus diurus dulu. Padahal aku paling males nyopir di jalanan padat. Selain itu dia juga sudah ke makam leluhurnya beberapa waktu lalu.
Kurang dari setengah jam kemudian aku sudah melaju di jalan yang masih remang-remang. Sesampai di kampung halaman bahkan embun masih belum lenyap. Langsung ke makam ibu.
Ke makam orang tua selalu mengingatkan pada dua hal. Pertama kembali ke titik nol. Di mana dari kedua orang di dalam kuburan ini hidupku dimulai. Kedua, menuju titik akhir. Di mana pada akhirnya di kuburan juga semua akan berarkhir.
Di makam ibu (makam bapak di lain kampung) hal yang selalu aku lakukan setelah berdoa adalah berkeliling di sekitar kuburan. Selain makam banyak saudara juga di sini, banyak dari yang dikubur di tempat ini aku kenal. Satu persatu aku baca nama di nisannya. Agak tercengang karena membaca sebuah nama seorang teman kecil yang sebenarnya lebih muda dari aku. Ada juga seorang teman mengaji dan aktif berkegiatan masa muda. Aku menghitung umurku.
“Sepertinya memang sudah masuk daftar depan antrean,” batinku. Aku memandang pohon asem raksasa di kuburan itu. “Berapa umur pohon ini. Pasti ratusan tahun tetapi masih kokoh,” batinku lagi.
Setelah cukup aku berniat ke rumah simbok (bulik). Baru sekitar 200 meter berkendara aku melihat sepasang suami istri sedang duduk minum teh di teras. Segera aku injak rem. Dua orang itu terlihat bertanya-tanya. Tetapi segera tertawa ketika melihat aku yang turun.
“Aku pengin ikut wedangan mbah,” kataku setelah dekat. Bukannya dijawab aku justru dipeluk. “Pie kabarmu le?” katanya sambil memijit-mijit pundakku.
Dia adalah Lik Sugimin dan istrinya Mbak Tarmi. Sama-sama satu kampung. Sekarang pilih memanggil mbah karena membahasakan anakku.
Sesaat kemudian kami minum teh gula batu dengan pacitan jadah. “Enak tenan…” batinku.
Lik Sugimin ini adalah salah satu orang yang ikut momong aku waktu kecil. Bahkan kalau dia main ke rumah dan mau pulang aku selalu nangis. Kerap akhirnya dibawanya pulang dan tidur di rumahnya dan tidur sama Mbah Sukir (ibu Lik Sugimin). Setelah pensiun dari TNI dia dan keluarganya pulang kampung. Garap sawah. Pensiun yang ideal.
“Rumah Mbah Sukir masih bagus Lik?” tanyaku ke Lik Sugimin sambil melihat rumah jawa yang ada di belakang dari rumah tempat kami minum teh.
“Rusak Din, gak kerawat. Cuma jadi gudang,” katanya.
Kami terus menikmati teh. Sementara di seberang jalan dua nenek-nenek sedang duduk. Rupanya mereka menunggu penjual sayur. “Kampung ini isinya Cuma orang tua ya Lik,” tanyaku lagi.
“Ya…sebenere malah sudah berkurang banyak. Tinggal beberapa,” katanya sambil tersenyum. “Baru saja berkurang satu. Kemarin Mbah Wasis meninggal,” tambahnya. Aku juga kenal Mbah Wasis ini.
Selama sekitar setengah jam bersama Mbah Gimin membawaku ke umur anak-anak. Lalu aku pamit meneruskan perjalanan.
Aku tidak lagi punya rumah di kampung ini. Rumah bapak ibu telah dirobohkan karena tidak ada yang menunggu. Hingga rumah Simbok jadi tujuan kalau pulang kampung.
Sesampai di sana kecele. Simbok sudah berangkat ke Rumah Sakit untuk kontrol rutin. Tetapi ada Mbah Poyo (suami simbok) dan cucunya. Umur Mbah Poyo ini mungkin sekitar 80 tahun dan sudah mengalami gangguan kesehatan. “Masih mau puasa nanti mbah,” tanyaku.
“Masih,” jawabnya dengan mantab. “Bismilllah. Tetapi kalau tidak kuat jangan memaksakan diri,” kataku.
Tidak lama aku ngobrol dengan Mbah Poyo. Karena aku tahu beliau suka pusing kalau terlalu lama duduk atau berdiri. Akhirnya aku pamit. “Pamit mbah, jaga kondisi. Selamat berpuasa. Mohon maaf lahir batin. Semoga kita masih bisa ketemu puasa puasa puasa selanjutnya,” kataku dalam bahasa jawa. Harapanya jelas diberi umur panjang.
Kembali masuk mobil dan satu hal yang aku rasakan. Lapar. Segera aku telepon teman SMP.
“Di mana kamu” tanyaku
“Di rumah,” jawabnya
“Ok aku menuju rumah. Dan kamu punya tugas ngajak aku makan. Lapar,” lanjutku.
“Ok,” katanya.
Sebelum menuju rumahnya aku ke makam bapak. Dan selalu di makam bapak yang mendominasi adalah perasaan sedih. Tetapi pergi selalu dengan membawa semangat “Dulu bapak lebih susah dari aku. Kalau bapak bisa melintasi semua rintangan hidup, maka harusnya aku juga lebih bisa.”
Meluncur ke rumah teman…
Ini adalah orang yang pertama kali aku kenal di SMP. Sesampai di rumahnya dia sudah menunggu dan langsung mengajak ke rumah makan Mbah Tumbu. Lokasinya di tengah-tengah kampung di Semanu. Jalan muter-muter yang aku yakin gak akan sampai jika disuruh mengulangi ke sana lagi sendiri.
“Aku kok aneh ya” kataku. “Sekarang aku males banget cari duit.” lanjutku.
Temanku tersentak. Ternyata dia mengalami hal yang sama. Bahkan saking malesnya mikir duit dia berencana menjual aset untuk menyelesaikan kuliah anak-anaknya.
“Berarti ini masalah umur,” kataku.
Dan kami terus membincangkan masalah itu hingga dia kemudian berkata “Apa kita ini masih hidup di usia 55 atau 60 tahun.”
Aku agak bingung jawabnya. Bapak ibuku meninggal dalam kisaran umur itu. Tetapi segera terbayang Mbah Poyo yang berusia 80an tahun.
“Masih,” akhirnya aku menjawab. “Umur kita sampai 80 tahun. Sampai momong cucu atau cicit,” lanjutku mantab. Meski jelas umur jelas bukan urusan manusia.
“Ok!” saut temanku juga dengan mantab. “Berarti masih banyak kesempatan kita untuk wedangan bareng,” katanya. Aku Cuma tertawa.
Tepat jam 12 aku meluncur kembali ke Jogja. Mampir sebentar ke rumah sepupu, untuk ikut sholat dzuhur gagal. Karena rumahnya kosong. “Masih ngejar untuk sholat di rumah,” batinku.
Sepanjang perjalanan rasanya ngantuk banget “Ini masalah umur,” gumanku.
Musik aku putar agak kencang untuk tetap menjagaku sadar. Tetapi juga menarik maju mundur waktu. Dari Fire House ke Sheila on Seven. Dari Sweet Child of Mind Gun and Roses ke Cari Jodoh Wali. Maju mundur gak karu-karuan. Alhamdulillah sampai rumah
Dan saat aku menulis ini tiba-tiba ada WA dari istri. Ngesahre link seorang ustadz. Sambil bilang “Kui lho yah, Arepo ayah ra cocok karo ‘….(nama ustadz) tapi hal ini perlu direnungkan. Ayah ki ben sehat. Sesuk tambah tuo isih isa jalan-jalan momong putu. Menikmati keberhasilan anak-anak kita”
Jujur aja linknya gak aku baca. “Ini pasti soal umur lagi. Sudah terlalu banyak bicara soal umur,” keluhku dalam hati.
Dan hari ini anakku yang besar ulang tahun. Tambah umur…
Lagi-lagi umur.