Meraba Rumitnya Program IF-X

Meraba Rumitnya Program IF-X

Peluncuran jet tempur KF-X atau KF-21 oleh Korea Selatan masih meninggalkan perbincangan hangat bahkan kadang panas di banyak kalangan.

Berbagai hal jadi topik perdebatan. Dari masalah bendera di pesawat hingga sikap Indonesia di dalam proyek bersama tersebut. Kali ini kami akan mencoba menganalisa tentang berbagai hal tersebut.

Kami tekankan bahwa ini adalah pendapat atau opini pribadi. Namun kami akan meletakkan di atas data, fakta dan logika serta tidak ada tendensi sedikitpun.

Mari kita lihat terlebih dahulu masalah bendera. Keberadaan bendera merah putih di pesawat yang diluncurkan memunculkan banyak pendapat dan tafsir.

Ada yang menyebut itu sebagia bentuk kebaikan Korea Selatan. Ada yang mengatakan itu karena Korea Selatan sangat ingin Indonesia tidak keluar dari program. Ada juga yang mengatakan hal itu menunjukkan Indonesia pasti melanjutkan kerja sama. Bahkan ada yang menyebut bendera itu sebagai bentuk keberhasilan lobi pemerintah Indonesia ke Korea Selatan. Entah lobi dalam hal apa.

Begitu banyak tafsir yang berkembang dan kadang saling diperdebatkan. Sementara kami melihat hal itu simpel saja. Korea Selatan memang harus menampilkan bendera Indonesia. Jika tidak, Seoul justru salah. Dengan kata lain keberadaan bendera itu sebagia hal yang wajar.

Kenapa demikian? Hal yang harus diingat, bahwa hingga saat ini Indonesia masih ada dalam program kerjasama itu. Meski memang ada ketidakjelasan akan sikap selanjutnya, faktanya Jakarta belum secara resmi menyatakan keluar.

Selain itu Indonesia juga sudah membayar sekitar Rp2,7 triliun biaya pengembangan. Sedikit banyak  dana itu juga menempel di pesawat yang diluncurkan. Sekali lagi, bagi kami tidak ada hal yang aneh dari bendera yang ada di pesawat. Wajar, dan memang harus begitu.

Bendera di pesawat sama dengan diundangnya Menteri Pertahanan Prabowo Subianto dalam peluncuran tersebut. Alasannya sama. Indonesia tetap masih ada dalam program tersebut. Apapun situasinya sekarang.

Lantas tentang keputusan Indonesia apakah akan terus melanjutkan program itu, sampai saat ini menurut analisa kami juga tidak ada kepastian. Tidak ada pernyataan resmi dari Kementerian pertahanan bahwa Indonesia akan terus berlanjut. Kutipan langsung dari Menteri Pertahanan Prabowo Subianto tentang hal tersebut tidak ada.

Mari akui Indonesia memang terlihat sangat hati-hati, untuk tidak menyebut ragu-ragu, apakah akan lanjut atau tidak. Apa sebenarnya yang menyebabkan sikap semacam itu? Mari kita analisa dengan logika yang masuk akal.

Apakah Indonesia benar-benar tidak mampu membayar seluruh kontribusi 20 persen anggaran yang mencapai sekitar Rp10 triliun? Sejujurnya, uang sebesar itu bukan sesuatu yang berat bagi Indonesia. Dengan APBN di atas Rp2000 triliun, anggaran pertahanan di atas Rp110 triliun, serta kepercayaan negara lain untuk terus memberi pinjaman ke Indonesia, maka Rp10 triliun rupiah bukanlah hal yang sulit didapat. Tetapi ketika dana itu dibayarkan semuanya, apakah semuanya akan selesai? Jauh dari kata itu.

Salah satu kesepakatan dari kerjasama adalah dengan kontribusi 20 persen, maka Indonesia akan mendapatkan transfer teknologi dan satu prototip pesawat. Dengan kepesertaan 20 persen transfer teknologi pasti tidak akan penuh. Apakah Korea Selatan curang? Tentu saja tidak. Bahkan ketika Indonesia mendapatkan transfer teknologi penuh seperti yang didapat Korea Selatan, justru itu tidak adil. Adil tidak berarti sama, tetapi mendapatkan apa sesuai proporsinya.Proporsi 20 persen maka juga masuk akal mendapat transfer teknologi 20 persen. Mari akui itu dengan lapang dada.

Lalu bagaimana dengan prototip yang dikirim ke Indonesia? Ingat yang diberikan adalah prototip. Bukan pesawat yang benar-benar telah selesai dikembangkan. Ini adalah pesawat yang baru bisa terbang dengan berbagai teknologi masih jauh dari sempurna. Bahkan mungkin prototip pesawat adalah 20 persen dari seluruh kemampuan yang akan dicapai.

Di sini masalahnya. Indonesia harus mengembangkan sendiri prototip itu menjadi pesawat dengan kemampuan tempur. Indonesia harus mengembangkan teknologi radar sendiri, sistem penerbangan, sistem kontrol senjata, avionic dan sebagainya. Dan itu butuh kemampuan dan biaya yang sangat besar. Apakah tidak bisa Indonesia mengadopsi teknologi yang dikembangkan Korea Selatan di KF-21?  Bisa saja, tetapi itu berarti Indonesia membeli teknologi. Tidak membangun sendiri. Dan lagi-lagi biaya besar dibutuhkan. Indonesia mungkin juga bisa membeli teknologi dari negara lain untuk mengisi pesawat seperti dari Rusia, Swedia atau China. Masalahnya, selain juga biaya, apakah Amerika akan mengizinkan mengingat sebagian teknologi KF-21masih berasal dari Amerika.

Tetapi mari berandai-andai, jika Indonesia mampu melewati rintangan tersebut, apakah berarti masalah sudah  kelar? Tetap masih jauh. Indonesia berharap dari program ini pada akhirnya mendapatkan 50 pesawat tempur. Tetapi untuk mendapatkan itu Indonesia harus keluar uang lagi. Ingat kontribusi Rp10 triliun adalah biaya pengembangan. Bukan pembelian pesawat.

Mari hitung, kita umpamakan satu pesawat membutuhkan biaya produksi sekitar US$60 juta, maka untuk mendapatkan 50 pesawat berarti Indonesia harus menyiapkan dana sekitar US$3 milar atau sekitar Rp43 triliun.Meski tentu saja akan dianggarkan secara bertahap, itu tetap akan menjadi beban tersendiri.

Jika anggaran itu ada apakah berarti sudah selesai? Belum juga. Indonesia ingin membangun 50 pesawat itu di dalam negeri dalam hal ini oleh PT Dirgantara Indonesia. Itu berarti Indonesia harus menyiapkan fasilitas produksi yang juga sangat mahal serta kemampuan teknik tinggi. Korea Selatan tidak begitu bermasalah dalam hal ini karena sebelumnya telah membangun FA-50. Artinya mereka telah memiliki fasilitas produksi dan tinggal melengkapi untuk KF-21.

Karena membangun fasilitas dari awal biaya yang dibutuhkan sangat besar, maka dampak selanjutnya adalah pada harga pesawat. Pesawat buatan Indonesia hampir pasti akan jauh lebih mahal dibandingkan buatan Korea Selatan. Ini berarti akan menjadikan Indonesia sulit untuk mencari pasar pesawat di masa depan.

Dengan begitu banyaknya persoalan, wajar sebenarnya jika Indonesia kemudian terlihat ragu-ragu apakah akan melanjutkan program tersebut atau berhenti. Karena sebenarnya, semua tahapan di atas seharusnya dilakukan secara bersama-sama. Artinya, ketika program pengembangan bersama Korea Selatan dimulai, secara bersamaan di dalam negeri dimulai program tersendiri untuk pembangunan fasilitas produksi, pendidikan ahli, dan juga sumber dana. Sedikit banyak ini tergambarkan dalam program pengadaan kapal selam Kelas Nagapasa di mana satu kapal dibangun menggunakan fasilitas PT PAL. Dalam program IF-X terlihat terputusnya program tersebut.

Pada akhirnya, Indonesia memang dihadapkan pada dua pilihan yang sama-sama sulit. Maju dengan mantap, atau mundur dengan mantap. Dan keduanya memiliki konsuekensi besar. Maju akan membutuhkan dorongan besar di banyak sektor, termasuk dana. Sementara jika mundur, maka jangan salahkan jika ada penilaian Indonesia bukan negara yang baik untuk dijadikan mitra pengembangan teknologi tinggi.

 

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.