Kementerian Luar Negeri Rusia mengkonfirmasi bahwa pemimpin Libyan National Army ( (LNA) Field Marshal Khalifa Haftar telah meninggalkan Moskow tanpa menandatangani perjanjian gencatan senjata dengan pemimpin Government of National Accord (GNA) yang didukung PBB Fayez al-Sarraj.
Mengomentari kegagalan tersebut, Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov mengatakan bahwa negara Libya telah dihancurkan oleh NATO.
“Jika Libya bisa menjadi ‘Suriah kedua’, saya yakin rakyat Libya akan mendapat manfaat dari ini. Sayangnya, tidak ada kenegaraan di Libya sejauh ini,” kata Lavrov pada konferensi pers, yang diadakan setelah pembicaraan dengan Menteri Luar Negeri Sri Lanka Dinesh Gunawardena .
“Negara Libya dibom oleh NATO pada 2011, dan kami masih menghadapi konsekuensi dari pelarian ilegal dan tindakan kriminal ini,” kata Lavrov.
Menteri luar negeri Rusia mencatat perlunya mendesak pihak-pihak yang bertikai di Libya untuk bernegosiasi alih-alih menggunakan kekerasan.
Pada hari Senin, Haftar bertemu dengan perdana menteri Libya yang diakui secara internasional, Fayez Sarraj di ibukota Rusia untuk pembicaraan yang ditengahi oleh Rusia dan Turki. Hari itu, Lavrov mengatakan bahwa Haftar telah meminta sedikit waktu ekstra untuk melihat rancangan perjanjian gencatan senjata antara pihak-pihak yang bertikai di Libya.
Namun pada Selasa 14 Januari 2020 diumumkan bahwa Haftar telah meninggalkan Moskow tanpa menandatangani kesepakatan.
Tentang Pembunuhan Soleimani
Menteri luar negeri Rusia, pembunuhan Qassem Soleimani, kepala Pasukan Quds Iran adalah puncak dari tindakan ilegal AS.
“Tentu saja, pembunuhan Qasem Soleimani, perwakilan resmi pemerintah Iran yang melakukan kunjungan ke negara tetangga Irak, adalah puncak dari tindakan ilegal Washington. Ini tentu saja di luar kerangka hukum dan kemanusiaan internasional,” kata Lavrov.
Dia menambahkan bahwa kebijakan Washington tentang Iran berada di belakang peningkatan ketegangan di wilayah Teluk Persia.