Dunia pertahanan Eropa sedang membangun dua program pesawat generasi keenam yakni Future Combat Aircraft System (FCAS) yang dikerjakan Prancis, Jerman dan Spanyol dan proyek tempur Tempest yang dipimpin Inggris.
Di saat tekanan meningkat pada negara-negara anggota Uni Eropa untuk memilih salah satu, pertanyaan apakah kedua proyek pada akhirnya dapat hidup berdampingan.
Pada bulan Mei, para penonton di Paris Air Show menyaksikan Jerman, Prancis dan Spanyol menandatangani perjanjian kerangka kerja untuk bersama membangun proyek senjata terbesar Eropa hingga saat ini yang disebut Future Air Combat System (FCAS).
Dassault Aviation dan Airbus akan membangun jet tempur baru, sementara Safran dari Prancis dan MTU Aero Engines dari Jerman akan bersama-sama mengembangkan mesin pesawatnya.
Meski Sementara Paris dan Berlin menginginkan penerbangan prototipe pertama sekitar tahun 2026, jet tempur baru direncanakan akan mulai masuk layanan pada tahun 2040, dengan tujuan untuk menggantikan Rafale Prancis dan Eurofighter Typhoon Jerman.
Sementara itu, Inggris sedang mengembangkan proyek tempur siluman Tempest, di mana Swedia danItalia bergabung, sementara Belanda juga telah menyatakan minat yang besar.
BAE Systems, perusahaan pertahanan terbesar Inggris, pembuat mesin Inggris Rolls-Royce, dan perusahaan pertahanan Italia Leonardo serta pembuat rudal Eropa MBDA telah masuk ke tim pengembangan Tempest.
Meskipun Prancis dilaporkan telah menjajaki prospek bekerja dengan Inggris dalam proyek tersebut, Brexit dan keputusan akuisisi strategis dalam beberapa bulan terakhir telah membuat perpecahan di Eropa dan memperdalam keraguan tentang masa depan kerja sama pertahanan Eropa.
Dua program tersebut justru akan menempatkan dalam risiko jalur tabrakan antara negara-negara Eropa. Pada bulan Maret, sebuah makalah yang diterbitkan oleh lembaga think tank Italia Instituto Affari Internazionali (IAI) berpendapat bahwa proyek Tempest ” dalam jangka menengah harus bergabung dengan proyek Prancis-Jerman untuk kepentingan pertahanan Eropa dan strategi kemandirian.”
Perusahaan-perusahaan Eropa menghadapi saingan-saingan Amerika yang jauh lebih besar, seperti Lockheed Martin, Northrop Grumman dan General Dynamics, yang ditegaskan dengan mega-merger Raytheon dan United Technologies (UTC) yang diumumkan awal tahun ini.
Meski ada minat yang tinggi pada jet tempur F-35 milik Lockheed Martin di antara mitra NATO Eropa seperti Polandia dan Belgia, para kritikus menyebutnya sebagai “berita yang sangat buruk” bagi upaya untuk mengurangi ketergantungan Eropa pada peralatan Amerika dan mengembangkan strategi pertahanan Uni Eropa yang lebih mandiri, yang mendapat dorongan setelah Brexit dan terpilihnya Donald Trump sebagai presiden Amerika.

Fragmentasi vs Pendekatan Umum
Untuk pasar pertahanan Eropa yang terfragmentasi, hanya memiliki dua proyek yang bersaing masih terbawa situasi era 1990-an, ketika Prancis memilih untuk solusi nasional dengan Rafale, Swedia dengan Gripen, dan Jerman memutuskan untuk tidak berinvestasi di bidang ini sama sekali.
“Karena fragmentasi negatif di antara orang-orang Eropa, negara-negara seperti Inggris, Italia, Belanda, Norwegia dan Denmark bergabung dengan program yang dipimpin Amerika untuk mengembangkan F-35 sebagai jet tempur generasi ke-5,” kata Alessandro Marrone, kepala program pertahanan di IAI kepada EURACTIV 28 Oktober 2019.
Sejumlah ahli percaya akan sulit bagi Eropa untuk membeli lebih dari satu program pesawat generasi keenam di lingkungan industri saat ini dan potensi konvergensi antara kedua program akan menguntungkan industri pertahanan Eropa.
“Ini mengharuskan Prancis untuk meninggalkan ide dengan arah kerjasama bilateral murni dengan Jerman, dan membuka negosiasi strategis dengan Inggris, Italia dan Swedia, sehingga enam negara Eropa dengan sumber daya militer dan industri terbesar dapat mengumpulkan upaya dengan dasar yang adil, ”katanya. Dia menambahkan bahwa sesuatu yang serupa telah dilakukan pada 1980-an oleh Berlin, London, Roma dan Madrid dengan proyek Eurofighter.
“Dari perspektif ekonomi, memiliki dua proyek yang bersaing di Eropa tidaklah rasional. Faktanya, sebagian besar mitra yang berbeda terlibat dalam kedua proyek tersebut berusaha untuk mengamankan sepotong kue untuk juara industri nasional mereka, ” kata Victor Mahieu, seorang analis pertahanan di Beyond the Horizon think tank di Brussels.
Terlepas dari pengumuman Presiden Prancis Emmanuel Macron untuk mengejar ide pendekatan bersama terhadap kebijakan keamanan dan pertahanan blok itu, saat ini dia tidak benar-benar menjalankan pembicaraan.
“Perpecahan saat ini di antara negara-negara anggota memberi tahu kita bahwa Paris berpikir kerja sama industri pertahanan strategis dapat dipimpin secara bilateral dengan Berlin, tetapi ini tidak berubah menjadi kerja sama yang benar-benar Eropa karena negara-negara penting lainnya seperti Italia dan Swedia dapat menemukan alternatif yang lebih baik,” kata Marrone kepada EURACTIV.
Ditanya awal bulan lalu oleh DefenseNews tentang masa depan dua program tersebut, Kepala Eksekutir Badan Pertahanan Eropa, Jorge Domecq, mengatakan: “Eropa mungkin harus melihat konvergensi menuju memiliki sistem sistem tunggal.”