“Gawat! Ada masalah besar di kampung kita,”
Tidak tahu kapan Sontoloyo masuk kamarku tiba-tiba saja dia sudah ada di belakangku. Dan inilah yang tidak aku suka dari si Sontoloyo ini. Datang seenak udelnya sendiri seolah-olah tidak ada satupun yang bisa menghalangi untuk dia bisa hadir sewaktu-waktu dan secara tiba-tiba.
“Ini benar-benar masalah serius. Harus segera dicarikan jalan keluarnya jika tidak ingin kampung kita dapat nama jelek,”
Kini dia sudah tidak lagi di belakangku tetapi sudah berpindah di tempat tidur yang ada disamping tempat dudukku. Tidur terlentang dengan kedua tangan dijadikan alas kepalanya. Kedua matanya melihat langit-langit kamar dengan sorot mata yang sepertinya memang sedang benar-benar bingung.
“Ada apa?” singkat saja aku bertanya karena itu sudah cukup untuk memancing Sontoloyo untuk nerocos tanpa kendali.
“Kambing Mbah Ranu hamil. Ini benar-benar gawat,”
“Lha, kambing hamil saja kok ribut. Justru kalau kambing gak bisa hamil itu berarti ada masalah,. Kambing hamil disyukuri dong,” aku beranjak berdiri untuk meninggalkannya. Ini orang pasti sedang kambuh gilanya jadi tidak perlu ditanggapi lagi.
“Hey..hey..hey..mau kemana kamu? ada masalah genting dan penting kok malah mau minggat,”
“Penting gundulmu,”
“Ehhhh tunggu! jangan pergi. Ini masalah benar-benar serius. Kudu kita pikirkan benar,” dia sontak beranjak dari semula posisi tidur menjadi duduk di atas tempat tidurku. Gerakan mendadaknya mau tidak mau menunda niatku untuk segera beranjak pergi dari kamar ini.
“Persoalannya, di kampung kita ini tidak ada yang punya kambing jantan,” katanya.
“Pak Kadus punya kan?” tiba-tiba aku malah nanggapi ngomongan dia soal kambing jantan.
“Itu sudah dijual lebaran haji empat bulan lalu,”
“Masyuri juga punya” tidak tahu kenapa aku masih saja menanggapi soal kambing jantan ini.
“Punya Masyuri juga sudah dijual sebulan lalu. Padahal usia kehamilan kambing Mbah Ranu baru dua minggu. Mbah Dipo punya kambing jantan tetapi baru berumur satu bulan. Tidak mungkin bisa menghamili,” sepertinya Sontoloyo sudah benar-benar malakukan survey soal kambing jantan ini hingga tahu sedetil-detilnya.
“Lha terus kenapa kalau tidak ada kambing jantan,”
“Wahhhhhhhhhhh jan goblok banget. Kalau gak ada kambing jantan kok kambing Mbah Ranu bisa hamil?” katanya
“Kamu mungkin yang menghamili,” jawabku sekenanya. Bukannya jadi pergi aku malah kembali duduk sambil menyalakan rokokku.
“Ndasmu,” umpatnya singkat
“Ayo mikir dong bagaimana bisa kambing Mbah Ranu hamil,” sambungnya.
“Kurang kerjaan masalah kaya begitu dipikir. Kalau yang hamil si Rina. Sisca, Fitria, atau Yu Ginah yang janda nahhhhhh itu wajib dipikirkan untuk nyari siapa bapak si jabang bayi. Kalau ketemu disuruh tanggungjawab. Kalau tidak mau tanggungjawab baru digebukin ramai-ramai. Ini kambing hamil kamu ribut. Bisa saja kan Mbah Ranu pinjam kambing jantan tetangga buat menghamili kambing betinanya,”
Bukannya menanggapi ngomonganku Sontoloyo malah mengambil sebatang rokokku dan menyalakannya. Lagi-lagi hal yang aku tidak suka dari si Sontoloyo yang gemar ngembat rokok orang. Bahkan kadang sekali ngambil dua batang sekaligus.
“Jangan-jangan, kambing Mbah Ranu dihamili sama Jin ya,” katanya sambil mengeluarkan asap rokok dari mulutnya dengan dibentuk lingkaran-lingkaran.
“Jin mbahmu!” aku makin gak bisa nahan emosi melihat gaya si Sontoloyo ini berbicara karena pakai manggut-manggut segala.
“Eh, jangan salah kamu. Di dunia kambing juga ada jin. Ya jin yang bentuknya kambing gitu. Sama seperti di dunia manusia ada jin yang mirip orang. Kalau ada cerita manusia dihamili gendruwo, nah jangan-jangan ada jin kambing jantan yang lagi broken heart kemudian nekat menghamili kambing Mbah Ranu,” katanya serius.
“Hey, Son. Kamu bisa gak sih berfikir sedikit rasional saja. Ini sudah masalahnya cuma kambing hamil pakai pikiran yang tidak rasional. Gila boleh lah tapi jangan keterlaluan,” kataku.
“Apa katamu? rasional? Hey, aku kasih tahu ya. Zaman sekarang mana ada yang rasional? malahan kalau mau jadi orang kaya, sukses dan dianggap orang sehat, kamu kudu punya pikiran yang tidak rasional alias gila. Hari gini kok berfikir rasional. Tidak akan hidup kamu,” saking semangatnya karena dia pakai nuding-nuding aku segala api rokoknya memercik ke sarungnya. Dia langsung kelabakan mematikan api yang menempel di sarungnya.
“Waduh sarungku bolong,” katanya memandangi lobang kecil di sarungya akibat kena api rokok sambil garuk-garuk rambutnya yang panjang sampai di pundak itu.
“Mampus,” batinku.
“Lha coba kamu lihat apa yang terjadi sekarang ini.Memang ada yang rasional? gak adaaaaaaaaaaaa. Semua tidak rasional. Tidak masuk akal!!!!,” dia kembali meneruskan kalimatnya setelah urusan sarung selesai. Sementara aku hanya memandangi dia tanpa bicara sedikitpun.
“Coba kamu mikir, rasional tidak, jika ada PNS golongan III punya duit miliaran rupiah. Bisa nyuap sana sini gak karu-karuan. Lha gajinya itu berapa? Jenderal polisi kok kekayaannya juga miliaran itu duit dari mana? Apa rasional coba”
Aku tetap diam saja.
“Jawab dong rasional apa tidak,” cecarnya.
“Tidak,” aku terpaksa menjawab
“Apa rasional ada orang berpuluh-puluh tahun ngurus bola gagal total tapi gak mau diganti. Main bola dari dulu sampai sekarang kalah terus kok bangga. Apa rasional namanya?”
Aku hanya tersenyum kecil
“Kamu lihat tuh, ada orang yang dihukum 5 tahun tetapi hanya menjalani hukuman 2 tahun. Orang dipenjara tetapi masih dapat gaji dari uang rakyat, orang dipenjara juga bisa pakai AC, lihat Liga Inggris atau BF di tivi, dipenjara tetapi bisa jualan sabu-sabu, tentara sama polisi malah tembak-tembakan sendiri, ibu membunuh anaknya sendiri, anak sekolah tidak lulus bunuh diri, orang mau dapat kerjaan harus bayar puluhan juta, punya perusahaan yang menguntungkan dijual, negara agraris tetapi beras, jagung, kedelai beli dari negeri orang. Rasional tidak?” dia benar-benar serius kali ini. Bahkan sorot matanya tampak nanar ketika kalimat-kalimat itu meluncur dari mulutnya yang ndower.
“Ayo jawab jangan cuma ndomblong kaya kambingnya Mbah Ranu kamu”
“hmmmm…” cuma itu yang keluar dari mulutku.
“Aku kasih tahu ya, untuk bisa jadi orang hebat di Indonesia ini kudu jadi orang yang berfikiran irasional. Jadi kita harus mulai memunculkan pikiran-pikiran irasional dan mengajak orang mengakui pemikiran tidak rasional itu. karena kalau kita tidak melakukan hal-hal yang tidak rasional gak bakalan lakuuuuuuuuuuuuuuu. Bener gak lakuuuuuuuuuuu!!!!. Sekarang ini pikiran irasional itu yang rasional. Orang yang berfikiran rasional yang dianggap tidak masuk akal,”
“Hmmmm….hmmmmm..” masih hanya itu yang keluar dari mulutku
“Tahu maksudku gak kamu?” Sontoloyo kembali mengambil sebatang rokok dan kini berdiri di belakangku lagi
‘Hemmm………..hemmmmm…..”
“Hemmmm…hemmmm dengkulmu itu,”
Sekejab Sontoloyo sudah lenyap dari belakangku entah pergi kemana. Dia sudah nggeblas entah kemana. Bahkan bau badannya pun tidak lagi tersisa. Kamarku kembali senyap. Tinggal aku sendiri yang terdiam sambil menghisap rokokku.
“Lalu siapa yang menghamili kambing Mbah Ranu,” kataku dalam hati. (az@jejaktapak.com)
*Sebuah tulisan lama jadi mungkin di beberapa hal tidak kontekstual lagi. Tetapi masih relevan untuk menggambarkan betapa tidak rasionalnya negeri kita ini
Comments are closed