Open Society Foundation milik George Soros mengatakan akan menghentikan operasi di Turki, setelah Presiden Tayyip Erdogan menuduh miliarder Hongaria itu mencoba untuk memecah belah dan menghancurkan berbagai negara di dunia.
Organisasi itu mengatakan Senin 26 November 2018 tidak mungkin lagi bekerja di Turki setelah itu menjadi target “klaim tak berdasar” di media dan penyelidikan baru oleh pemerintah Turki terkait protes massal terhadap pemerintah Erdogan lima tahun lalu.
Dikabarkan Kementerian Dalam Negeri Turki memperbarui upaya untuk membuktikan bahwa yayasan Soros berada di belakang protes Gezi Park 2013, salah satu tantangan politik terbesar bagi 15 tahun pemerintahan Erdogan. Yayasan membantah ada kaitan dengan protes.
Erdogan mengecam Soros pekan lalu ketika berbicara tentang penahanan 13 aktivis dan akademisi yang dituduh mendukung upaya oleh pengusaha yang dipenjara dan advokat hak Osman Kavala untuk menghidupkan kembali protes Gezi.
“Orang (Kavala) yang membiayai teroris selama insiden Gezi sudah dalam penjara,” kata Erdogan pada pertemuan pemerintahan lokal pada hari Rabu 21 November 2018.
“Dan siapa di belakangnya? Yahudi Hongaria Soros yang terkenal. Ini adalah orang yang menugaskan orang untuk memecah bangsa dan menghancurkan mereka. Dia memiliki begitu banyak uang dan dia membelanjakannya dengan cara ini,” katanya sebagaimana dikutip Reuters.
Salah satu dari 13 orang yang ditahan pada 16 November adalah Hakin Altinay, yang membantu mendirikan Open Society Foundation di Turki. Yang lain adalah anggota staf dari pusat Anadolu Kultur Kavala, yang mengkampanyekan hak asasi manusia dan keragaman budaya.
Semua kecuali satu dari tahanan itu kemudian dibebaskan. Sekutu Barat Ankara telah berulang kali mengkritik penangkapan puluhan ribu orang sejak kudeta militer gagal di Turki pada Juli 2016.
Kavala, yang ditahan selama lebih dari setahun, mengatakan pada hari Senin dalam sebuah pernyataan yang dipasang di situs webnya bahwa dia masih menunggu surat dakwaan sehingga dia dapat membuktikan bahwa klaim dia telah membantu untuk mengarahkan dan membiayai protes Gezi dan ingin menggulingkan pemerintah adalah “tidak berdasar”.
Surat kabar pro-pemerintah Daily Sabah, mengutip laporan penyelidik kejahatan keuangan, mengatakan pada hari Senin Yayasan Open Society telah mentransfer uang kepada organisasi Kavala untuk mendukung penyebaran protes Gezi secara nasional. Dikatakan hampir 1,9 juta lira telah ditransfer antara Agustus 2011 dan April 2017.
Yayasan itu mengatakan mereka telah memberi tahu pemerintah Turki setiap tahun tentang lembaga dan proyek mana yang menerima sumbangan, dan pihak berwenang telah menyetujui mereka.
“Namun, dengan penyelidikan baru yang telah dibuka, terlihat bahwa ada upaya untuk menghubungkan Open Society Foundation dengan insiden Gezi pada 2013. Upaya ini tidak baru dan mereka berada di luar kenyataan,” katanya.
Yayasan mengatakan akan mengajukan permohonan likuidasi hukum dan penutupan operasi perusahaan secepatnya.
“Peningkatan klaim tak berdasar dan spekulasi yang tidak proporsional di media dalam beberapa hari terakhir telah membuat tidak mungkin bagi yayasan untuk melanjutkan operasinya.”
Tidak hanya di Turki, Soros yang tinggal di Amerika dan Open Society Foundation-nya juga mendapat kecaman di Hongaria. Perdana Menteri Viktor Orban menuduh Soros mencoba untuk merusak budaya Kristen Eropa dengan mempromosikan migrasi massal, tuduhan yang dibantah oleh pihak Soros.
Nama Soros sendiri juga tidak asing di Indonesia. Saat krisis moneter yang melanda Asia, tak terkecuali Indonesia, pada tahun 1997 silam, George Soros dituding sebagai biang kerok. Tuduhan itu pertama kali didengungkan oleh Mahathir Muhammad yang menyebut perusahaan hedge fund Soros telah membuat nilai tukar sejumlah mata uang di Asia terombang-ambing.
“Saya mengatakan perdagangan mata uang itu hal yang tidak penting, tidak produktif, dan tidak bermoral,” ucap Mahathir saat itu.