Pengepungan masih menjadi taktik utama dalam perang Ukraina. Namun sepertinya Rusia telah terjebak dengan strategi masa lalu dalam menggunakannya.
Meskipun memiliki keunggulan luar biasa dalam peralatan dan tenaga kerja selama Perang Chechnya Kedua, pasukan Rusia harus melakukan pengepungan selama berbulan-bulan sebelum akhirnya merebut ibu kota Grozny pada Februari 2000.
Tentara Rusia mengandalkan artileri untuk mempersiapkan medan perang sebelum bergerak maju.
Tetapi terlepas dari pengeboman besar-besaran sebelumnya, pasukan manuver Rusia yang memasuki Grozny mendapati diri dihadang pasukan lawan yang gigih.
Pasukan Rusia kemudian meratakan sebagian besar kota. Ini menunjukkan bahwa mereka menjadi semakin frustrasi karena kemajuan mereka yang lambat.
Meski kota itu akhirnya jatuh, pengepungan tersebut menunjukkan bagaimana kekuatan yang lebih kecil dapat melawan pasukan yang lebih besar di lingkungan perkotaan.
Pada November 2004, selama Pertempuran Fallujah Kedua, artileri Amerika menawarkan solusi taktis kepada komandan manuver untuk menerobos kebuntuan yang menekan pasukan mereka.
Selama pertempuran, Marinir Amerika menembakkan 5.685 peluru artileri 155 milimeter. Ini untuk mendukung manuver darat.
Komandan unit mencatat bahwa Marinir mengandalkan serangan artileri terencana untuk mempelopori dorongan mereka ke kubu lawan di kota. Artileri mendahului unit yang maju saat mereka berpindah dari blok ke blok.
Akhirnya setelah satu bulan pertempuran, pasukan koalisi berhasil. Tetapi dengan korban jiwa, amunisi, dan waktu yang signifikan.
Baik di Grozny maupun Fallujah, pasukan militer yang kuat menghadapi lawan yang lebih lemah dengan kemampuan yang lebih rendah. Ini menjadikan penyerang menikmati beberapa kenyamanan operasional yang tidak akan ada di lingkungan opererasi tempur skala besar atau LSCO.
Salah satu kenyamanan itu adalah bahwa baik pasukan Rusia maupun Amerika tidak menghadapi ancaman kontra baterai modern atau kredibel selama serangan perkotaan ini.
Simak selengkapnya dalam tayangan berikut: