Infeksi coronavirus menyebar ke seluruh dunia dan tidak ada yang bisa lolos, bahkan mereka yang secara khusus dilatih untuk memerangi wabah tersebut.
Banyak negara NATO telah menggunakan militer untuk mengatasi infeksi coronavirus yang mengamuk, seperti Amerika , Inggris, Perancis, Turki, dan Jerman. Ironisnya, terlepas dari pelatihan yang seharusnya menangani konsekuensi penggunaan senjata pemusnah massal, khususnya senjata biologis, beberapa militer NATO gagal melindungi diri mereka dari virus korona.
Departemen Pertahanan Amerika telah melaporkan bahwa setidaknya 280 prajurit telah tertular virus sejak awal pandemi.
Pentagon tidak menyelidiki secara rinci bagaimana hal ini terjadi dan mengklaim bahwa informasi ini berpotensi memberikan musuh Amerika gagasan tentang pasukan Amerika mana yang paling rentan saat ini.
Namun pernyataan sebelumnya dari Jenderal Tod Walters menyarankan bahwa setidaknya 35 prajurit Amerika telah tertular virus saat sedang ditempatkan di Uni Eropa. Sedangkan juru bicara Pentagon kemudian mengatakan bahwa militer Amerika akan berhenti memberikan informasi tentang jumlah prajurit yang terinfeksi COVID dengan sekali lagi mengutip alasan kekhawatiran keamanan.
Jerman sejauh ini lebih transparan. Pada tanggal 26 Maret dilaporkan bahwa sekitar 160 tentara telah terinfeksi oleh coronavirus, dengan mayoritas dari mereka hanya mengalami gejala penyakit ringan.
Sekali lagi, tidak jelas bagaimana infeksi tertular di tempat pertama, tetapi tentara Jerman telah mulai mengambil berbagai langkah untuk mencegah penyebaran penyakit di lingkungan mereka, seperti menjaga jarak selama latihan, isolasi diri personil yang tidak penting , dan lockdown.
Negara-negara NATO lainnya belum melaporkan infeksi COVID-19 di angkatan bersenjata mereka, meskipun Inggris, Prancis, dan Turki juga telah menggunakan bantuan militer untuk mengekang wabah tersebut.
Situasi di militer Jerman dan Amerika sangat kontras dengan kekuatan negara-negara yang oleh Washington disebut sebagai “musuh dekat” – China dan Rusia. Tak satu pun dari keduanya telah melaporkan infeksi di barisan pasukan mereka, meskipun Beijing menggunakan kemampuan militernya yang luas untuk mengurangi infeksi yang merajalela, termasuk di tempat asalnya, Wuhan. Tetapi lagi-lagi juga tidak bisa diyakini mereka lolos. Bisa jadi datanya disimpan rapat.
Yang jelas Rusia, telah melangkah lebih jauh untuk mengirim beberapa unit pasukan kimia, biologis, radiologis, dan nuklir atau chemical, biological, radiological, and nuclear (CBRN) ke negara anggota NATO yakni Italia, yang menempati peringkat kedua di dunia dalam hal jumlah orang terinfeksi dan kematian.
Dilengkapi dengan instrumen untuk diagnosa dan disinfeksi, pasukan CBRN Rusia membantu kota yang paling terpukul, Bergamo di wilayah Lombardy, untuk mengekang penyebaran virus. Mereka juga dibantu oleh sekelompok spesialis yang terdiri dari ahli epidemiologi dan ahli penyakit virus yang telah dilatih untuk melawan konsekuensi dari penggunaan senjata biologis dan lebih dari mampu membantu Italia dengan wabah COVID-19.
Dengan fakta-fakta seperti ini memang layak untuk dipertanyakan apakah pasukan mereka siap jika suatu saat diserang dengan senjata biologis?