Indonesia akan mendapat hibah 14 drone ScanEagle dan pemutakhiran tiga unit Helikopter Bell 412 dari pemerintah Amerika Serikat.
Wakil Menteri Pertahanan Sakti Wahyu Trenggono datang ke Komisi I DPR RI pada Rabu (26/2) untuk menyampaikan permohonan persetujuan penerimaan hibah tersebut. Ia menjelasakan, pemerintah Amerika sejak tahun 2014 sampai 2015 menawarkan program hibah kepada TNI. Atas dasar itu, maka pada tahun 2017 TNI AL mengambil program FMF Hibah tersebut berupa Unmanned Aerial Vehicle (UAV) dan upgrade helikopter Bell 412.
Sesuai ketentuan, dibentuklah tim pengkaji oleh Kemhan untuk melakukan penilaian apakah barang tersebut layak diterima dari aspek teknis, ekonomis, politis, dan strategis. Dari kajian tersebut Kemhan memutuskan untuk menerima program hibah dimaksud.
“Drone ScanEagle memiliki nilai US$28,3 juta dibutuhkan TNI AL untuk meningkatkan kemampuan ISR maritim guna memperkuat pertahanan negara,” ujar Wahyu Trenggono, Rabu.
ScanEagle akan digunakan untuk melaksanakan patroli maritim, integrasi ISR (intelijen, pengawasan, dan pengintaian). Sementara untuk upgrade peralatan Helikopter Bell 412 dengan nilai 6,3 juta Dollar AS dibutuhkan TNI AL untuk meningkatkan efektivitas pelaksanaan tugas dan meningkatkan kemampuan pertahanan negara.
“Nantinya Drone ScanEagle ini akan digunakan oleh TNI AL untuk kepentingan khusus. Kita hanya keluar dana sekitar Rp10 miliar untuk mengintegrasikan dan memastikan keamanan data dari peralatan ini dengan Alutsista lainnya. Nanti PT LEN yang akan bertugas untuk integrasikan,” kata Wahyu.
Meski secara penampilan pesawat pengintai ini hampir tidak mengesankan karena ukurannya yang tidak sebesar Predator atau Reaper, ScanEagle memiliki kemampuan yang sangat diandalkan.
Pesawat pengintai kecil dibeli oleh sejumlah besar militer asing karena terbukti efektif dan murah dalam melakukan misi pengintaian udara tak berawak untuk operasi kontra-terorisme dan kontra-pemberontakan.
Pesawat tak berawak ScanEagle melakukan debut mereka dalam pertempuran di Fallujah dan Irak barat pada tahun 2005. Pada saat itu, Pasukan Ekspedisi Pertama Korps Marinir terlibat dalam pertempuran sengit untuk menguasai kota Fallujah. ScanEagle membantu memberi para marinir kesadaran situasional yang lebih besar.
Pengalaman positif Marinir dengan ScanEagle mendorong Angkatan Laut untuk memberi penghargaan kepada Boeing kontrak senilai US$ 14,5 juta untuk pembelian ScanEagle. Karena ScanEagle tidak memerlukan jalur pendaratan dan diluncurkan dari peluncur portabel maka mereka bisa dioperasikan dari kapal kecil. Drone ini menggunakan sistem pendaratan SkyHook.
Sebenarnya, ketika Insitu merancang prototipenya pada tahun 2001, drone ini tidak dimaksudkan untuk penggunaan militer melainkan untuk industri perikanan komersial. Sepanjang perkembangannya, Insitu fokus pada operasi maritim.
Pada tahun 2004, ScanEagle menetapkan rekor untuk penerbangan tak berawak terpanjang di laut dengan waktu 16 jam dan 45 menit. ScanEagle menjadi pilihan UAV untuk Angkatan Laut dan Korps Marinir dan mencapai 600.000 jam tempur pada tahun 2012. Dengan harga US$ 100.000 per pesawat tak berawak, ScanEagle adalah pesawat terlaris Boeing pada tahun 2009.
Beberapa tahun sebelum pemerintahan Obama mengumumkan “pivot to Asia”, Boeing Insitu melakukan ekspansi sendiri di Pasifik dengan membuka kantor afiliasi di Australia pada tahun 2009. Insitu dikabarkan memiliki kontrak ScanEagle dengan Kanada, Australia, Polandia, Malaysia, Belanda, Singapura dan Jepang.

ScanEagles juga memainkan peran kunci dalam mengintegrasikan pesawat tak berawak ke wilayah udara Amerika. ScanEagles telah digunakan untuk melawan kebakaran hutan di Alaska, melatih pilot pesawat tak berawak di University of North Dakota dan memeriksa banjir Red River di sepanjang perbatasan Dakota Utara-Minnesota.
ScanEagle adalah pesawat tak berawak komersial pertama yang dioperasikan di Amerika Serikat. Pada bulan Agustus 2013, Federal Aviation Administration memberikan raksasa energi ConocoPhillips izin untuk menerbangkan pesawat tak berawak tersebut ke operasi pengeboran mereka di Arktik.
ScanEagle membawa kamera optik dan inframerah yang distabilkan memungkinkan operator melacak target diam dan bergerak. Mampu terbang di atas 16.000 kaki dan berkeliaran di medan perang lebih dari 24 jam, platform sepanjang 1,2 meter ini) menyediakan ISR low-altitude yang persisten.