Washington telah meluncurkan pertempuran baru melawan perusahaan-perusahaan China yang dituduh melakukan spionase industri.
Merasa disudutnya China tidak tinggal diam dengan menyebut Amerika Serikat adalah negara cyberspy terbesar di dunia dan dapat digambarkan sebagai “kerajaan hacker.”
“Fakta-fakta menunjukkan bahwa Amerika Serikat adalah negara penguping terbesar di dunia maya dan Empire of Hacker (Kekaisaran Hacker) dalam arti sebenarnya. Kegiatan penyadapan mereka telah mencapai tingkat premanisme nyata, pelanggaran hukum, dan kekacauan,” kata juru bicara Kementerian Luar Negeri China Geng Shuang Senin 17 Februari 2020.
Pernyataan Geng muncul setelah sebuah laporan oleh The Washington Post pekan lalu mengungkapkan bahwa produsen perangkat enkripsi Swiss Crypto AG diam-diam dimiliki oleh CIA, NSA, dan agen mata-mata Jerman Barat, BND selama beberapa dekade. Hal ini memberi mereka kemampuan untuk memata-matai 120 negara termasuk India, Pakistan, dan Iran hingga Amerika Latin dan Vatikan.
Geng juga mengomentari sanksi yang diperkenalkan minggu lalu terhadap enam perusahaan China atas dugaan pelanggaran terhadap undang-undang Amerika tentang non-proliferasi senjata pemusnah massal. Juru bicara itu mencatat bahwa China sangat menentang sanksi sepihak dan prinsip yurisdiksi ekstrateritorial yang digunakan Amerika berdasarkan hukum nasionalnya.
“Kami mendesak Amerika untuk memperbaiki kesalahan ini sesegera mungkin dan untuk mencabut sanksi,” kata jurubicara itu dikutip Sputnik.
Pada Kamis 13 Februari 2020, Departemen Luar Negeri Amerika mengumumkan bahwa sekitar selusin perusahaan China, Rusia, Irak, dan Turki, entitas dan individu telah menjadi sasaran sanksi Amerika atas dugaan pelanggaran tindakan non-proliferasi terhadap Iran, Korea Utara, dan Suriah.
Entitas yang ditargetkan termasuk tiga pembuat senjata Rusia. Departemen Luar Negeri Amerika tidak mengklarifikasi tindakan non-proliferasi spesifik mana yang seharusnya dilanggar.
Perang Teknologi Amerika-China
Pernyataan Geng tentang luasnya cyberspying Amerika di seluruh dunia menunjukkan adanya konflik yang semakin intensif antara kedua negara terkait dugaan pencurian sistematis kekayaan intelektual Amerika oleh perusahaan-perusahaan China.
Pada hari Minggu 16 Februari 2020, The Wall Street Journal mengutip sumber-sumber melaporkan,, bahwa administrasi Trump kemungkinan menolak lisensi ekspor yang memungkinkan General Electric untuk menjual mesin pesawat terbang ke perusahaan dirgantara China di tengah kekhawatiran bahwa China mungkin akan mencoba merekayasa balik komponen-komponen tersebut.
Sebelum itu, administrasi Trump berusaha menekan sekutu Inggrisnya untuk tidak mengizinkan raksasa teknologi China Huawei untuk mengambil bagian dalam pembangunan infrastruktur komunikasi 5G di Inggris, dengan alasan kekhawatiran bahwa itu dapat mengancam kerja sama berbagi intelijen antara Aliansi Five Eyes (Amerika, Inggris, Australia, Kanada, dan Selandia Baru).
Perdana Menteri Boris Johnson mengizinkan Huawei untuk ikut serta dalam pembangunan 5G Inggris setelah diberi pengarahan tentang masalah tersebut oleh Dewan Keamanan Nasional.
Pekan lalu, pengadilan Amerika menampar Huawei dan dua anak perusahaannya dengan tuduhan kriminal dengan menuduh raksasa teknologi itu melakukan pencurian sistematis atas kekayaan intelektual dari setengah lusin perusahaan amerika selama hampir dua dekade. Huawei menolak klaim tersebut sebagai “omong kosong”.