Embargo senjata yang diberlakukan di Libya untuk mengekang pertempuran di negara tersebut menjadi tidak berarti karena banyaknya pelanggaran dari berbagai negara. Mereka yang melanggar harus dimintai pertanggungjawaban.
“Embargo senjata telah menjadi lelucon, kita semua benar-benar perlu melangkah ke sini,” kata Wakil Perwakilan Khusus Sekretaris Jenderal PBB untuk Urusan Politik di Libya setelah pertemuan para menteri luar negeri di Munich Perancis Minggu 16 Februari 2020. Pertemuan ini untuk menindaklanjuti KTT Berlin bulan lalu yang setuju untuk menegakkan embargo.
Faktanya pertempuran di Libya terus berlanjut meskipun ada seruan untuk gencatan senjata. “Ini rumit karena ada pelanggaran melalui darat, laut dan udara, tetapi perlu dipantau dan perlu ada akuntabilitas,” kata Williams saat ada konferensi pers sebagiamana dilaporkan Reuters. Dia menambahkan bahwa Libya sekarang dibanjiri dengan senjata canggih.
PBB mengatakan beberapa negara mendukung faksi yang berbeda lawan di Libya dan telah berulang kali melanggar embargo senjata. PBB menyebut negara tersebut adalah Uni Emirat Arab, Mesir dan Turki. Setelah konferensi Berlin, pelanggaran meningkat dan PBB mencela mereka tanpa menyebutkan nama negara.
The Libyan National Army yang berbasis di timur dan dipimpin Khalifa Haftar dan pasukan yang bersekutu dengan Government of National Accord (GNA) yang diakui secara internasional di Tripoli telah berperang sejak April tahun lalu untuk menguasai ibukota. UEA dan Mesir mendukung Haftar sementara GNA didukung oleh Turki.
Sebuah pernyataan bersama yang dikeluarkan pada hari Minggu oleh 13 negara yang terlibat di Libya, termasuk Mesir, UEA dan Turki, mengatakan telah ada diskusi tentang pelanggaran embargo senjata yang “menyedihkan” dan “tekad yang memperbarui implementasi secara menyeluruh.
Namun, tidak disebutkan bagaimana embargo akan dipantau, ditegakkan atau apakah akan ada konsekuensi jika dilanggar.
Menteri Luar Negeri Jerman Heiko Maas mengatakan dia ingin menteri luar negeri Uni Eropa untuk membuat keputusan pada hari Senin tentang peran mereka dalam memantau embargo.
“Semua orang perlu tahu bahwa – jika mereka melanggar embargo di masa depan – maka mereka melanggar resolusi PBB dan bahwa ini tidak dapat tetap tanpa konsekuensi,” kata Maas, tanpa menjelaskan lebih lanjut.
Kepala GNA, Fayez al-Serraj, mengatakan pada hari Sabtu bahwa negara itu menghadapi krisis keuangan karena blokade jalur minyak dan ladang minyak oleh Haftar.
“Situasi di darat tetap sangat meresahkan. Gencatan senjata hanya dipegang oleh seutas benang situasi ekonomi terus memburuk, “kata Williams