Seorang anggota parlemen Iran menawarkan hadiah US$ 3 juta atau sekitar Rp41 miliar kepada siapa pun yang mau dan mampu membunuh Presiden Amerika Donald Trump. Amerika menyebut tindakan itu sebagia hal yang konyol.
Ketegangan terus meningkat sejak Trump menarik Washington dari perjanjian nuklir Teheran dengan kekuatan dunia pada 2018 dan menerapkan kembali sanksi Amerika. Kebuntuan itu meletus menjadi kontak militer bulan ini.
“Atas nama orang-orang provinsi Kerman, kami akan membayar hadiah US$ 3 juta tunai kepada siapa pun yang membunuh Trump,” kata anggota parlemen Ahmad Hamzeh di depan parlemen yang memiliki 290 kursi sebagaimana dilaporkan Kantor Berita ISNA Selasa 21 Januari 2020. Dia tidak mengatakan apakah hadiah itu mendapat dukungan resmi dari penguasa Iran.
Kota Kerman, di provinsi selatan ibukota, adalah kota kelahiran Qassem Soleimani, seorang komandan terkemuka Iran yang tewas dalam serangan pesawat tak berawak Amerika pada 3 Januari di Baghdad. Pembunuhan ini mendorong Iran untuk menembakkan rudal ke pangkalan militer di Irak yang ditempati pasukan Amerika.
Menanggapi hal tersebut Duta Besar perlucutan senjata Amerika Robert Wood menyebut tawaran hadiah itu sebagai hal yang “konyol.” Kepada wartawaan dia mengatakan bahwa tawaran hadiah itu menunjukkan “dasar-dasar teroris” dari pendirian Iran.
Di bagian lain Ahmad Hamzeh mengatakan Iran harus memiliki senjata nuklir agar bisa melindungi diri sendiri.
“Jika kita memiliki senjata nuklir hari ini, kita akan dilindungi dari ancaman. Kita harus memproduksi rudal jarak jauh yang mampu membawa hulu ledak yang tidak konvensional dalam agenda kita. Ini adalah hak alami kita, ” katanya sebagaimana dikutip Reuters 21 Januari 2020.
Amerika Serikat dan sekutu Baratnya telah lama menuduh Iran berusaha membangun senjata nuklir. Teheran selama ini bersikeras bahwa mereka tidak pernah mencari senjata nuklir dan tidak akan pernah melakukannya. IOran mengatakan pekerjaan nuklirnya adalah untuk penelitian dan untuk menghasilkan listrik.
Perjanjian nuklir 2015 secara keseluruhan dirancang untuk meningkatkan waktu yang diperlukan Iran untuk mendapatkan bahan fisil yang cukup untuk bom nuklir. Pihak-pihak dalam perjanjian itu meyakini, pada saat itu, Iran dapat memproduksi bahan yang cukup dalam dua hingga tiga bulan jika diinginkan.
Di bawah kesepakatan itu, yang dikenal sebagai JCPOA, Iran menerima pelonggaran sanksi sebagai imbalan karena mengekang kegiatan nuklirnya. Namun Trump kemudian menarik diri dari perjanjian tersebut.
Bulan ini, Iran mengumumkan akan membatalkan semua batasan pada pekerjaan pengayaan uraniumnya, yang berpotensi memperpendek waktu yang diperlukan untuk membangun senjata nuklir.
Namun laporan yang dikeluarkan oleh pengawas nuklir Amerika Serikat menunjukkan Teheran masih jauh dari tujuannya.