Presiden Recep Tayyip Erdogan menegaskan Turki akan tetap mengirim pasukan ke Libya berdasarkan perjanjian dengan Government of National Accord (GNA). Erdogan menambahkan bahwa Turki akan menggunakan sarana militer dan diplomatik untuk memastikan stabilitas di Libya.
Dalam pidatonya di Pertemuan Evaluasi Tahunan untuk 2019 di Bestepe National Congress and Culture Center di Ankara, Erdogan mencatat bahwa Ankara akan mulai mengebor cadangan gas di Mediterania timur pada tahun 2020 sejalan dengan kesepakatan yang dicapai dengan GNA dan bahwa kapal Oruc Reis telah memulai studi seismik.
“Setelah menandatangani perjanjian maritim dan keamanan dengan Libya, tidak mungkin secara hukum untuk melakukan kegiatan eksplorasi dan pengeboran [untuk gas] atau memasang pipa tanpa persetujuan kedua negara,” kata Erdogan.
Ankara dan Government of National Accord yang didukung PBB telah menandatangani perjanjian untuk mengerahkan pasukan Turki ke negara yang dilanda perang. Turki mencatat bahwa penggelaran hanya akan terjadi jika pasukan Jenderal Haftar terus melakukan serangan ofensif.
Sebelumnya dua pihak yang berkonflik di Libya, GNA yang mengendalikan wilayah timur negara itu dan Libyan National Army (LNA) yang dipimpin oleh Jenderal Khalifa Haftar gagal untuk menegosiasikan gencatan senjata selama pembicaraan di Moskow.
Meski GNA menandatangani perjanjian gencatan senjata yang dinegosiasikan, Haftar tidak. Dia kembali ke Libya dan mengumumkan berlanjutnya perang.
Upaya selanjutnya untuk merekonsiliasi pihak-pihak yang bertikai akan terjadi di Berlin, Jerman pada 19 Januari, di mana Jerman, Prancis, Turki, Rusia, Amerika, Inggris, China , dan Italia akan mencoba untuk menengahi kesepakatan gencatan senjata baru.
Pihak berwenang Turki sebelumnya mengatakan bahwa pengerahan militer di bawah perjanjian yang dicapai dengan GNA hanya akan dimulai jika Jenderal Haftar melanjutkan seragan ofensifnya di ibu kota Tripoli. Parlemen Libya, yang mendukung tentara Jenderal Haftar, mengecam perjanjian kerja sama militer antara GNA dan Turki dengan suara bulat untuk memutuskan semua hubungan dengan Turki.
Libya tetap terjerumus dalam keadaan perang saudara yang melibatkan banyak pihak, termasuk GNA dan LNA. Mereka bertarung untuk menguasai negara itu sejak pemimpin terakhir Muammar Gadhafi terbunuh pada tahun 2011.