Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan mengatakan negaranya akan “memberi pelajaran” kepada pemimpin Libyan National Army (LNA) Khalifa Haftar jika pasukannya melanjutkan serangan ofensif terhadap pemerintah Libya yang diakui secara internasional.
Pernyataan tersebut dikeluarkan setelah Khalifa Haftar meninggalkan Moskow tanpa menandatangani perjanjian gencatan senjata dengan kepala Pemerintah Kesepakatan Nasional yang didukung PBB Fayez al-Sarraj.
Erdogan mengatakan bahwa Haftar melarikan diri setelah negosiasi antara dia dan kepala GNA Fayez al-Sarraj gagal menghasilkan gencatan senjata yang tidak terbatas.
Haftar dan al-Sarraj tiba di Moskow pada Senin untuk membahas gencatan senjata dengan Rusia dan Turki sebagai penengah. Negosiasi berlangsung lebih dari enam jam.
Setelah pembicaraan, Menteri Luar Negeri GNA Mohamed Taher Siala mengatakan bahwa Sarraj telah menandatangani perjanjian tersebut sementara Haftar meminta waktu tambahan sebelum mungkin menandatanganinya pada hari Selasa. Namun pada Selasa pagi Haftar meninggalkan Moskow tanpa menandatangani perjanjian tersebut.
Menurut Siala, Moskow telah memberi tahu GNA tentang niatnya untuk melanjutkan upaya untuk mengatur putaran pembicaraan lain tentang krisis di Libya. Sementara itu, putaran berikutnya dijadwalkan berlangsung di Jerman pada 19 Januari.
Bentrokan Berlanjut
Al Arabiya melaporkan bahwa bentrokan telah terjadi lagi di dekat Tripoli Libya pada Senin malam. “Bentrokan baru di daerah Saladin di selatan ibukota Libya, Tripoli,” tweet penyiar itu. Tidak ada korban atau kerusakan yang dilaporkan.
Minggu lalu, LNA dan GNA mengumumkan gencatan senjata, menghentikan serangan LNA selama berbulan-bulan terhadap Tripoli. Namun, sejak itu kedua pihak saling menuduh telah melanggar gencatan senjata beberapa kali.
Libya telah berada dalam keadaan perang saudara sejak 2011 ketika pemimpinnya saat itu Muammar Gaddafi digulingkan dan dibunuh. Kontrol atas negara telah dibagi antara Laftar Haftar dan GNA yang didukung PBB.