Presiden Donald Trump memilih langkah mundur dari rencana aksi militer baru terhadap Iran setelah serangan rudal pada pangkalan Irak yang jadi basis militer Amerika, namun dia meyakinkan akan memberi sanksi lebih keras kepada Iran.
Para pejabat Trump dan Iran berusaha meredakan krisis yang pada mengancam akan memicu konflik terbuka setelah pembunuhan seorang jenderal terkemuka Iran di Irak pada 3 Januari dalam serangan pesawat tak berawak diikuti oleh serangan balasan Iran.
Namun kedua belah pihak akhirnya mundur dari jurang perang, setelah Arab dan para pemimpin internasional lainnya menyerukan Amerika dan Iran menahan diri. Di Irak, kelompok-kelompok Muslim Syiah, menentang kehadiran Amerika di Irak, juga berupaya mendinginkan protes.
“Kenyataan bahwa kita memiliki peralatan dan militer yang hebat tidak berarti kita harus menggunakannya. Kami tidak ingin menggunakannya, “kata Trump sebagaimana dilaporkan Reuters Kamis 8 Januari 2020.
Hal itu diambil setelah mengatakan rudal balistik Iran yang ditembakkan pada dini hari Rabu tidak menyebabkan korban dan kerusakan terbatas.
Dia mengatakan Iran “tampaknya mundur, yang merupakan hal yang baik untuk semua pihak yang berkepentingan” tetapi dia mengatakan Amerika Serikat akan menjatuhkan sanksi tambahan terhadap Iran, menambah langkah-langkah yang telah memangkas ekspor minyaknya dan melumpuhkan ekonominya.
Komentarnya itu dikeluarkan beberapa jam setelah menteri luar negeri Iran mengatakan serangan rudal Iran sebagai tanggapan terhadap pembunuhan Qassem Soleimani, seorang jenderal kuat yang mendalangi upaya Iran untuk membangun pasukan proxy di luar negeri.
Menteri itu, Javad Zarif, mengatakan di Twitter bahwa Iran tidak “mencari eskalasi atau perang, tetapi akan membela diri terhadap segala agresi”.
Pemimpin Tertinggi Ali Khamenei menyebut serangan rudal Iran sebagai “tamparan di wajah” untuk Amerika Serikat dan mengatakan Iran tetap bertekad untuk mengusir pasukan Amerika keluar dari wilayah itu, kebijakan yang menurut para analis telah dikejar melalui pasukan proxy.
Namun Washington mengatakan memiliki indikasi bahwa Teheran mengatakan kepada sekutunya akan menahan diri dari aksi baru terhadap pasukan Amerika.
Wakil Presiden A.S. Mike Pence mengatakan kepada CBS News bahwa Amerika Serikat menerima data intelijen yang menyebutkan Iran mengirim pesan kepada milisi sekutunya untuk tidak menyerang target Amerika.
Moqtada al-Sadr, seorang ulama berpengaruh Syiah yang menentang Amerika dan campur tangan Iran di Irak, mengatakan krisis Irak telah berakhir dan menyerukan “faksi-faksi Irak untuk bermusyawarah, sabar, dan tidak memulai aksi militer”.
Kataib Hezbollah, milisi yang didukung Iran mengatakan di tengah-tengah kondisi ini, hasrat untuk mencapai hasil yakni mengusir pasukan Amerika harus dihindari.
Itu bertolak belakang dengan komentar berapi-api pada Rabu pagi dari Qais al-Khazali, pemimpin milisi lain dukungan Iran, yang mengatakan pasukan Irak harus menanggapi pembunuhan Abu Mahdi al-Muhandis, yang meninggal bersama Soleimani dalam serangan 3 Januari.
Negara-negara Arab, yang terletak di seberang Teluk dari Iran dan khawatir wilayah mereka terseret ke dalam konflik lain, juga menyerukan agar para pemimpin yang lebih dingin.
“Negara persaudaraan Arab Irak saat ini membutuhkan solidaritas di antara rakyatnya untuk menghindari perang dan menjadi situs pertempuran di mana ia akan kehilangan sangat besar,” kata Menteri Luar Negeri Arab Saudi Pangeran Faisal bin Farhan menulis di Twitter.
Dalam pidato Trump pada hari Rabu, ia mengulangi janjinya untuk tidak mengizinkan Iran mendapatkan senjata nuklir dan menyerukan kekuatan dunia untuk keluar dari perjanjian nuklir 2015.
Trump mengatakan kekuatan dunia harus merundingkan perjanjian nuklir baru dengan Iran untuk menggantikan yang ditetapkan di bawah Barack Obama.
Iran telah menolak pembicaraan baru dan mengatakan negosiasi tidak dapat dilakukan tanpa pengakhiran sanksi yang telah membuat mata uang Iran anjlok dan memangkas pendapatan minyak vital.