Pada pertengahan Oktober 2019, Mayor Jenderal Iran Qassem Soleimani bertemu dengan milisi Syiah Irak yang menjadi sekutu Iran di sebuah vila di tepi Sungai Tigris dan memandang ke seberang di mana kompleks kedutaan Amerika di Baghdad berada.
Komandan Pasukan Quds Garda Revolusi Iran tersebut menginstruksikan sekutunya di Irak, Abu Mahdi al-Muhandis, dan para pemimpin milisi lainnya untuk meningkatkan serangan terhadap sasaran Amerika di negara itu dengan menggunakan senjata baru yang canggih yang disediakan oleh Iran.
Hal itu diungkapkan dua komandan milisi dan dua sumber keamanan yang diberi pengarahan tentang pertemuan mengatakan kepada Reuters.
Sesi strategi, yang belum pernah dilaporkan sebelumnya, muncul ketika protes massa terhadap pengaruh Iran yang semakin besar di Irak mendapatkan momentum, menempatkan Iran dalam sorotan negatif.
Menurut sumber yang dijelaskan pada pertemuan itu, rencana Soleimani untuk menyerang pasukan Amerika bertujuan untuk memprovokasi tanggapan militer yang akan mengarahkan kemarahan yang meningkat terhadap Amerika Serikat. Pertemuan itu diikuti para politisi dan pejabat pemerintah Syiah Irak dekat dengan Perdana Menteri Irak Adel Abdul Mahdi.
Upaya Soleimani akhirnya memprovokasi serangan AS pada hari Jumat yang membunuhnya dan Muhandis, menandai meningkatnya ketegangan antara Amerika Serikat dan Iran. Kedua pria itu tewas dalam serangan udara ketika dalam kendaraan di bandara Baghdad untuk menuju ke ibukota. Kematian dua orang ini menjadi pukulan besar terhadap Iran dan kelompok paramiliter Irak yang didukungnya.
Wawancara dengan sumber-sumber keamanan Irak dan komandan milisi Syiah menawarkan gambaran langka tentang bagaimana Soleimani beroperasi di Irak.
Seorang komandan milisi dan sumber keamanan Irak kepada Reuters mengatakan dua minggu sebelum pertemuan Oktober, Soleimani memerintahkan Garda Revolusi Iran untuk memindahkan senjata yang lebih canggih – seperti roket Katyusha dan rudal panggul yang dapat menjatuhkan helikopter – ke Irak melalui dua penyeberangan perbatasan.
Di vila Baghdad, Soleimani mengatakan kepada komandan yang berkumpul untuk membentuk kelompok milisi paramiliter baru yang tidak dikenal atau yang tidak diketahui Amerika Serikat untuk melakukan serangan roket terhadap orang Amerika yang bertempat di pangkalan militer Irak.
Dia memerintahkan Kataib Hezbollah – pasukan yang didirikan oleh Muhandis dan dilatih di Iran – untuk mengarahkan rencana baru itu.
Soleimani mengatakan kepada mereka bahwa kelompok seperti itu “akan sulit dideteksi oleh Amerika,” salah satu sumber milisi mengatakan kepada Reuters.
Sejumlah pejabat Amerika kepada Reuters mengatakan sebelum serangan, komunitas intelijen Amerika memiliki alasan untuk meyakini bahwa Soleimani terlibat dalam perencanaan “tahap akhir” untuk menyerang orang Amerika di berbagai negara, termasuk Irak, Suriah, dan Lebanon.
Seorang pejabat senior Amerika yang minta tidak disebut namanya mengatakan Soleimani telah memasok persenjataan canggih ke Kataib Hezbollah.
Penasihat keamanan nasional Gedung Putih Robert O’Brien mengatakan kepada wartawan pada Jumat bahwa Soleimani baru saja datang dari Damaskus, “di mana ia merencanakan serangan terhadap tentara Amerika, penerbang, marinir, pelaut dan terhadap diplomat kita.”
Seorang pejabat di markas Garda Revolusi Iran menolak berkomentar. Demikian juga juru bicara kementerian luar negeri Iran tidak tersedia untuk berkomentar.
Memilih Sasaran dengan Drone
Amerika Serikat semakin khawatir dengan pengaruh Iran atas elit yang berkuasa di Irak di mana mereka telah dikepung berbulan-bulan oleh para pemrotes yang menuduh pemerintah memperkaya diri sendiri dan melayani kepentingan kekuatan asing, terutama Iran, ketika rakyat Irak hidup dalam kemiskinan tanpa pekerjaan. atau layanan dasar.
Soleimani, pemimpin Pasukan Quds, berperan penting dalam memperluas pengaruh militer Iran di Timur Tengah. Jenderal 62 tahun itu dianggap sebagai tokoh paling kuat kedua di Iran setelah Pemimpin Tertinggi Ayatollah Ali Khamenei.
Muhandis, mantan anggota parlemen Irak, mengawasi Popular Mobilization Forces (PMF) Irak, sebuah payung pasukan paramiliter yang sebagian besar terdiri dari milisi Syiah yang didukung Iran yang secara resmi diintegrasikan ke dalam angkatan bersenjata Irak.
Muhandis, seperti Soleimani, telah lama berada di radar Amerika Serikat, yang telah menyatakan Muhandis sebagai teroris. Pada 2007, sebuah pengadilan Kuwait menjatuhkan hukuman mati in absentia atas keterlibatannya dalam pemboman Amerika dan di Kedutaan Perancis di Kuwait tahun 1983.
Salah satu komandan milisi mengatakan kepada Reuters, Soleimani memilih Kataib Hezbollah untuk memimpin serangan terhadap pasukan Amerika di wilayah tersebut karena memiliki kemampuan untuk menggunakan pesawat tanpa awak salah satunya untuk mencari sasaran serangan roket Katyusha.
Di antara senjata yang diberikan pasukan Soleimani kepada sekutu milisi Irak musim gugur lalu adalah pesawat tanpa awak yang dikembangkan Iran yang dapat menghindari sistem radar, kata komandan milisi.
Menurut dua pejabat keamanan Irak yang memantau pergerakan milisi Kataib Hezbollah menggunakan pesawat tak berawak untuk mengumpulkan rekaman udara lokasi di mana pasukan Amerika dikerahkan.
Pada 11 Desember, seorang pejabat senior militer Amerika mengatakan serangan oleh kelompok-kelompok yang didukung Iran di pangkalan pasukan amerika di Irak meningkat dan menjadi lebih canggih, mendorong eskalasi tak terkendali.
Peringatannya datang dua hari setelah empat roket Katyusha menghantam sebuah pangkalan di dekat bandara internasional Baghdad, melukai lima anggota Unit Kontra Terorisme Irak.
Tidak ada kelompok yang mengaku bertanggung jawab atas serangan itu tetapi seorang pejabat militer Amerika mengatakan dari intelijen dan analisis forensik roket dan peluncur mengarah ke kelompok-kelompok milisi Muslim Syiah yang didukung Iran, terutama Kataib Hezbollah dan Asaib Ahl al-Haq.
Pada 27 Desember, lebih dari 30 roket ditembakkan ke pangkalan militer Irak di dekat kota Kirkuk di Irak utara. Serangan itu menewaskan seorang kontraktor sipil Amerika dan melukai empat personel militer Amerika dan dua Irak.
Washington menuduh Kataib Hezbollah melakukan serangan itu dan kemudian membalas dengan melancarkan serangan udara dua hari kemudian terhadap milisi, menewaskan sedikitnya 25 pejuang milisi dan melukai 55 lainnya.
Serangan itu memicu protes keras dua hari oleh para pendukung kelompok paramiliter Irak yang didukung Iran yang menyerbu perimeter Kedutaan Besar Amerika di Baghdad dan melemparkan batu, mendorong Washington untuk mengirim pasukan tambahan ke wilayah tersebut dan mengancam pembalasan terhadap Teheran.
Pada hari Kamis – sehari sebelum serangan yang menewaskan Soleimani – Menteri Pertahanan Amerika Mark Esper memperingatkan bahwa Amerika Serikat mungkin harus mengambil tindakan preemptive untuk melindungi kehidupan Amerika dari serangan diharapkan oleh milisi yang didukung Iran. “Permainan telah berubah,” katanya.
Diputuskan Setelah Natal
Operasi untuk membunuh Jenderal Soleimani sendiri disusun oleh segelintir pembantu senior Donald Trump dalam beberapa hari, dengan presiden menyetujui rencana untuk membunuh komandan Iran tak lama setelah serangan roket 27 Desember terhadap sebuah kompleks militer Amerika di Kirkuk.
Salah satu pejabat mengatakan kepada Bloomberg bahwa serangan itu berfungsi sebagai ‘garis merah’ untuk Trump, yang dilaporkan mengatakan kepada Pejabat Eropa sebelumnya untuk memperingatkan Teheran tentang tidak dapat diterima menargetkan orang Amerika.
Kelompok penasihat terpilih yang merencanakan serangan terhadap Soleimani dilaporkan termasuk Penasihat Keamanan Nasional Robert O’Brien, Menteri Luar Negeri Mike Pompeo, Wakil Presiden Mike Pence serta Penjabat Kepala Staf Mick Mulvaney, dengan para pejabat berkomunikasi melalui jalur aman dari lokasi di seluruh Amerika pada hari-hari setelah Natal.
Seorang pejabat Amerika mengatakan bahwa militer Amerika tidak melihat Soleimani secara langsung pada malam serangan itu, tetapi melancarkan serangan berdasarkan informasi yang diperoleh sebelumnya bahwa ia akan berada di Bandara Internasional Baghdad, dalam perjalanan dari negara ketiga – Syria atau Lebanon, pada hari Jumat pagi.
Seorang pejabat juga mengatakan pemerintahan Trump memutuskan untuk tidak memberi tahu Kongres tentang serangan sebelumnya dengan alasan keamanan. Sekutu Amerika juga tidak diberi informasi, yang menyebabkan kritik dari Inggris.