Sebuah survei Arecent berjudul “The Situation in Northeast Asia and South Koreans’ Perception” mencoba mengungkap sikap rakyat Korea Selatan jika saja Jepang dan Korea Utara terlibat perang..
Dari survei itu didapat hanya 15,1% warga Korea Selatan yang akan mendukung Tokyo sementara 45% memilih untuk mendukung Korea Utara. Padahal seperti diketahui Korea Utara dan Korea Selatan secara teknis masih terlibat perang sejak 1950. Perang hanya diakhiri dengan perjanjian gencatan senjata, bukan perjanjian abadi.
“Di bawah situasi hipotetis yang agak ekstrem di mana perang pecah antara Korea Utara dan Jepang, 45,5 persen akan memilih untuk membantu Korea Utara, dan 15,1 persen Jepang,” demikian hasil survei itu sebagaimana dikutip The Japan Times Jumat 8 November 2019. Sementara sekitar 39,4 persen menjawab tidak tahu.
Survei yang dilakukan oleh peneliti Lee Sang Sin disajikan Rabu 5 November 2019di di Peace Forum ke-11 yang digelar Korea Institute for National Unification.
Dalam survei ini Lee mewawancarai 1.000 peserta secara pribadi dalam tiga fase – dari 5 hingga 25 April tahun lalu; dari 5 hingga 25 April tahun ini; dan dari 17 September hingga 8 Oktober tahun ini
Penelitian menemukan bahwa tanggapan dari seluruh spektrum politik mendukung gagasan untuk mendukung Korea Utara jika negara itu berperang dengan Jepang. Hampir 53 persen dari mereka yang mengidentifikasikan diri dengan pendukung Partai Demokrat Presiden memilih mendukung Pyongyang. Sedangkan 43 persen dari mereka yang mendukung oposisi Partai Liberty Korea mengambil sikap sama. Sebanyak 41 persen dari mereka yang tidak memiliki afiliasi partai pun juga memilih untuk mendukung Korea Utara.
Survei juga menemukan bahwa lebih dari sepertiga memandang Jepang sebagai ancaman militer masa depan bagi Korea Selatan, sementara 61 persen memandangnya sebagai ancaman saat ini.
Lee mengatakan hasil itu tidak mengejutkan, mencatat jajak pendapat serupa yang telah dilakukan sejak 2007 menemukan bahwa lebih banyak orang Korea Selatan mendukung tim sepak bola nasional Korea Utara dibandingkan dengan Amerika.
“Bagi orang Korea Selatan, Korea Utara seperti pengacau dalam keluarga, seekor domba hitam,” kata Lee kepada The Japan Times. “Kami membenci Korea Utara, tetapi pada saat yang sama, kami tidak ingin melihat Korea Utara dipukuli oleh negara lain.”
“Demikian pula, setiap kali Korea Selatan memiliki sengketa teritorial tentang Dokdo dengan Jepang, Korea Utara memihak Korea Selatan,” katanya.
Hubungan antara kedua negara tetangga Asia itu telah merosot ke titik terendahnya dalam beberapa tahun setelah keputusan Mahkamah Agung Korea Selatan tahun lalu memerintahkan perusahaan-perusahaan Jepang memberikan kompensasi kepada para pekerja paksa selama pemerintahan kolonial Jepang tahun 1910-1945. Jepang mengatakan bahwa klaim tersebut diselesaikan berdasarkan perjanjian 1965.
Ketegangan bilateral meningkat ketika Jepang memberlakukan kontrol ekspor yang lebih ketat pada beberapa bahan utama yang dibutuhkan oleh industri teknologi Korea Selatan pada bulan Juli dan menjatuhkan negara itu dari daftar mitra dagang tepercaya pada bulan berikutnya. Korea Selatan membalas dengan mengeluarkan Jepang dari daftar putih mitra dagangnya.
Pertengkaran meluas ke front keamanan yang membuat Amerika Serikat sebagai sekutu kedua negara khawatir.
Seoul berencana untuk mengakhiri pakta berbagi intelijen militer dengan Tokyo, sebuah langkah yang akan memengaruhi kerja sama keamanan trilateral dengan Washington ketika Korea Utara terus membangun program nuklir dan misilnya dan ketika kekuatan militer China yang terus tumbuh.