Di Suriah, Rusia Adalah Pemenangnya
Patroli Rusia di Suriah/NYT

Di Suriah, Rusia Adalah Pemenangnya

Krisis Suriah saat ini memiliki sejumlah pecundang dan satu pemenang besar: Rusia. Presiden Donald Trump mendapat kecaman di dalam dan luar negeri karena secara tiba-tiba menarik pasukan Amerika keluar dari Suriah, Turki menyerbu yang mengakibatkan kematian sedikitnya 250 Kurdi dan menggusur 300.000 pengungsi. Rusia, di sisi lain, telah memanfaatkan pengaruhnya pada Ankara dan Damaskus untuk muncul sebagai raja.

Pada 22 Oktober, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan dan Presiden Rusia Vladimir Putin mencapai kesepakatan untuk mengusir Syrian Democratic Force (SDF) yang sebagian besar diisi Kurdi dari Suriah utara.

Pasukan Rusia dan Turki akan bersama-sama melakukan patroli di Suriah dekat perbatasan. Di bawah perjanjian sebelumnya, Kurdi juga akan bergabung dengan Korps ke-5 tentara Suriah, yang mencakup sukarelawan asing dan dikendalikan oleh Rusia.

Kemudian, dalam pembalikan kebijakan, pemerintahan Trump mengumumkan akan mengirim sekitar 500 tentara Amerika untuk melindungi ladang minyak Suriah dari serangan ISIS di masa depan. Pada kenyataannya, Trump berusaha menggunakan kontrol minyak sebagai daya ungkit terhadap pemerintah Suriah.  Damaskus dan Moskow mengecam tindakan itu sebagai pelanggaran hukum internasional karena ladang minyak berada di wilayah Suriah.

“Apa yang sedang dilakukan Washington sekarang – dengan merebut dan mengontrol ladang minyak di Suriah timur di bawah kendali bersenjatanya  adalah, cukup sederhana, bandit negara internasional,” kata juru bicara Kementerian Luar Negeri Rusia Mayor Jenderal Igor Konashenkov.

Di sisi lain, pemerintah Turki senang dengan penempatan kembali pasukan Amerika karena akan dengan cepat menghapus SDF dari Suriah utara, tujuan ingin dicapai dari invasi Erdogan. Tetapi bagaimana jika SDF menolak untuk bekerja sama? “Rusia akan menjadi penjamin,” kata Mustafa Kibaroglu, seorang profesor hubungan internasional di Universitas MEF Istanbul sebagaimana dikutip Foreign Policy 31 Oktober 2019. “Peran Rusia sangat penting.”

Rusia juga mengeluarkan ancaman. Jika Kurdi tidak bergerak, pasukan Rusia akan mundur, dan pasukan Turki akan “menganiaya” Kurdi.

Turki telah lama berselisih dengan Amerika Serikat tentang sejumlah masalah kebijakan luar negeri, termasuk Perang Irak, Iran, Israel, dan Kurdi. Tetapi setelah pemberontakan Arab Springs di Suriah, Ankara dan Washington berbagi tujuan yang sama: mendukung pemberontak bersenjata yang bertekad untuk menggulingkan Presiden Suriah Bashar al-Assad.

Pemberontak gagal mendapatkan dukungan rakyat   terutama setelah intervensi militer Rusia 2015 dalam mendukung Assad. Ketika menjadi jelas bahwa Assad akan tetap berkuasa, Erdogan mengubah arah dan berpartisipasi dalam pembicaraan damai yang disponsori Rusia di Kazakhstan.

 

Hubungan semakin memburuk ketika banyak orang Turki menjadi yakin akan keterlibatan Amerika dalam upaya kudeta tahun 2016 melawan Erdogan. Pemerintah Turki menuduh Fethullah Gulen, seorang pemimpin agama Turki yang tinggal di pengasingan di Amerika Serikat, merencanakan kudeta.

Kenyataan lain di mana Amerika Serikat telah mengalami masalah di sejumlah perang baru-baru seperti Afghanistan, Irak, Suriah, dan Libya,  membuat Erdogan berhitung dan menyimpulkan untuk sementara kekuatan Amerika melemah dan Rusia bisa menawarkan penyeimbang.

Kebangkitan Rusia di kawasan itu terjadi ketika Turki, yang lama menjadi anggota NATO dan sekutu Barat, sedang menyelaraskan kembali dan tampaknya memiringkan diri ke Rusia.  Turki membeli sistem pertahanan rudal S-400 buatan Rusia dan baru-baru ini telah menerima pengirimannya. Hal yang menyebabkan kemarahan di Washington. Bagian pertama dari pipa gas alam Rusia-Turki baru selesai, dan Rusia berencana untuk membangun empat pembangkit listrik tenaga nuklir di Turki.

Rusia sebenarya sama saja seperti Amerika Serikat, mengejar kepentingan ekonomi dan militernya sendiri di Timur Tengah. Kedua kekuatan ini mempromosikan penjualan yang sangat menguntungkan oleh produsen senjata masing-masing.

Keduanya berupaya mengendalikan harga minyak, dengan Rusia menjual ke negara-negara seperti Turki dan Israel, sementara Amerika Serikat membeli dari negara-negara Teluk. Dan keduanya tampaknya bersedia untuk menendang orang-orang Kurdi  ketika merasa perlu bersekutu dengan pemerintah yang kuat dan secara geostrategis penting di Ankara.

NEXT: APA SALAHNYA BERTEMAN DENGAN PUTIN