Meski banyak negara terus mengecam dan mengancam operasi militer yang digelar di Suriah, Turki tidak akan mundur. Bahkan negara itu mengaku tidak takut jika harus dikucilkan karena mereka memiliki alasan yang jelas.
“Mengapa Turki harus takut dikucilkan? Kami memerangi terorisme, dan terorisme adalah musuh bersama kami,” kata Menteri Luar Negeri Turki Mevlut Cavusoglu saat ditanya Sputnik tentang Rusia, Iran, negara-negara Eropa dan Arab yang telah menyatakan protes mereka terhadap operasi militer Turki di Suriah.
“Saya tidak berpikir bahwa Rusia memiliki sesuatu yang menentang operasi ini. Rusia prihatin dengan momen-momen sensitif tertentu, seperti integritas wilayah dan persatuan [Suriah]. Kami khawatir tentang hal itu juga,” lanjut Cavusoglu.
“Jika Anda melihat semua pernyataan bersama Rusia-Turki-Iran, Anda akan melihat bahwa kami selalu menggarisbawahi [perlunya menjaga integritas wilayah negara].”
Hingga Sabtu 12 Oktober 2019 Turki terus menggempur sejumlah target di Suriah timur meskipun ada peringatan dari Washington bahwa Gedung Putih dapat memberikan sanksi kepada Ankara atas serangan terhadap Syrian Democratic Force (SDF) yang didukung Amerika.
Pasukan Turki terus maju dengan serangan darat terhadap militan Kurdi ke Suriah utara. Ankara berencana membuat zona aman dan koridor perdamaian di kawasan itu, di sebelah timur Sungai Eufrat.
Menteri Pertahanan Amerika Mark Esper mendorong Turki untuk menghentikan serangan, menekankan hal itu mengganggu kestabilan kawasan dan memperingatkan “konsekuensi serius”.
Sementara Damaskus mengecam kesepakatan antara Turki dan Amerika Serikat dan menyebut kedua negara itu beroperasi di Suriah tanpa izin dari pemerintahnya. Juga ditekankan bahwa operasi itu dapat menyebabkan kebangkitan ISIS di negara itu.
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan mengumumkan peluncuran Operasi Peace Spring di timur laut Suriah pada hari Rabu 9 Oktober 2019. Serangan itu bertujuan untuk memaksa Pasukan SDF yang didominasi-Kurdi dan gerilyawan ISIS yang tersisa dari wilayah tersebut.