Pemerintah Sosial Demokrat Denmark yang kini berkuasa memutuskan untuk tidak membuka kembali penyelidikan resmi atas keputusan negara itu tahun 2003 untuk berpartisipasi dalam koalisi militer pimpinab Amerika di Irak. Padahal pemimpin partai Mette Frederiksen selama di oposisi berkoar-koar untuk membuka lagi Komisi Irak yang dibekukan pemerintah pendahulunya.
“Pandangan saya sangat jelas: Pemerintah harus membuka kembali komisi Irak”, tulis Mette Frederiksen di situs web Sosial Demokrat pada tahun 2015.
Komisi itu secara efektif ditutup oleh pemerintah yang dipimpin Venstre dari kelompok liberal-konservatif yang berkuasa pada tahun 2003, ketika Perdana Menteri saat itu dan kemudian menjadi Sekjen NATO Andes Fogh Rasmussen memutuskan untuk mengirim pasukan Denmark ke Irak.
Menteri Luar Negeri Sosial Demokrat Jeppe Kofod membenarkan bahwa pemerintah tidak berniat untuk membuka kembali komisi. Pada saat yang sama, ia mengecam pendahulunya karena menutupnya.
“Ini memalukan bagi pemerintah untuk menutup komisi yang telah bekerja selama beberapa tahun tanpa menyelesaikan pekerjaannya,” kata Kofod kepada Danish Radio.
“Kami sekarang memiliki catatan sejarah perang, jadi kami jelas memiliki dasar yang baik untuk melihat apa yang terjadi pada saat itu,” tambah Kofod, merujuk pada laporan akademik tentang keterlibatan militer Denmark di Kosovo, Irak dan Afghanistan, yang diterbitkan pada bulan Februari tahun ini.
Menurut laporan itu, koalisi liberal-konservatif diberi informasi yang menyatakan sebenarnya tidak ada bukti jelas Irak memiliki senjata pemusnah massal. Tetap saja, PM Rasmussen saat itu meyakinkan parlemen dan media bahwa senjata itu ada.
Pada 2012, pemerintah, pada waktu itu koalisi sayap kiri yang dipimpin oleh Sosial Demokrat, menunjuk komisi untuk melihat keputusan Denmark untuk bergabung dengan operasi militer pimpinan Amerika di Irak dan Afghanistan. Komisi itu akhirnya ditutup oleh pemerintah Vestre pada 2015, meskipun ada protes dari Sosial Demokrat.
“Dalam sebuah demokrasi, sangat penting bahwa parlemen dan rakyat dapat meminta pertanggungjawaban pemerintah, terlepas dari warna partainya. Dibutuhkan pemerintah untuk siap menyelidiki sendiri, meskipun secara politik tidak nyaman, ” tulis Mette Frederiksen pada 2015.
Laporan akademik yang diterbitkan tahun ini disebut-sebut sebagai pengganti komisi. Meski laporan itu memunculkan sejumlah kritik terhadap keputusan untuk berpartisipasi dalam perang Irak dan memicu permintaan baru dari partai-partai sayap kiri, termasuk Social Liberals, Red Green Alliance dan Partai Rakyat Sosialis untuk menghidupkan lagi komisi.
“Sangat memalukan bahwa Sosial Demokrat menarik diri untuk membuka kembali Komisi Irak,” kata juru bicara kelompok politik alternatif Rasmus Nordqvist dalam Twitter.
“Dengarkan sini. Anda mengirim kami ke perang berdasarkan kebohongan. Ketika kami sampai di rumah yang hancur berkeping-keping, Anda menghilang dan meninggalkan memo kepada keluarga. Ketika para pengungsi setelah itu mendatangi kami, Anda membangun pagar. Sialan pasti ada konsekuensi bagi Anda untuk berbohong kepada kami, ” kata veteran perang Irak Anders Koustrup Kærgaard dari organisasi whistleblower Veron dalam tweeted-nya.
Hør her #dkpol.
I sender os i krig på løgne.
Når vi kommer hjem i stykker – forsvinder I og overlader stumperne til familierne.
Når flygtningene så bagefter søger os – bygger I et hegn.
Damn right det skal have konsekvenser for jer at lyve for os.
Ny Irakkommision – nu pic.twitter.com/65Wry9ldYA
— Anders Kærgaard 🇺🇦 (@Anderskoustrupk) September 30, 2019
Denmark memutuskan untuk bergabung dengan kampanye Irak yang dipimpin amerika pada Maret 2003 dengan suara mayoritas tipis. Selain mengusir Saddam Hussein, invasi pimpinan Amerika yang didukung Kopenhagen menggusur ratusan ribu warga Irak dan mengobarkan ketegangan agama di seluruh Timur Tengah.
Konsekuensinya masih terasa sampai sekarang. Pasukan Denmark yang dikerahkan di Irak antara Juni 2003 dan Juli 2007 dan mencapai jumlah tertinggi 550 orang.