
Meski proses itu telah berlangsung sejak Putin melakukan berbagai upaya terutama mengirim pasukan ke Suriah pada 2015, Rusia juga telah memperoleh kekuatan karena Amerika Serikat telah mundur.
Salah satu terlihat ketika Presiden Barack Obama mengesampingkan keterlibatan lebih dalam di Suriah meskipun ada bukti penggunaan senjata kimia oleh Assad, dan Donald Trump meski kerap berbicara keras tetapi menghindari tindakan yang lebih besar di wilayah tersebut.
Contoh terakhir dari itu adalah serangan Saudi, yang ditudingkan Trump kepada Iran. Setelah awalnya mengatakan Washington telah melakukan “locked and loaded ” untuk membalas, Trump menahan diri dari tanggapan yang keras, bukannya memperketat sanksi pada Teheran lebih lanjut.
Hal ini meninggalkan pertanyaan apakah Amerika Serikat akan benar-benar siap menggunakan kekuatan militernya untuk membela Riyadh, sekutu terdekatnya Arab. Keraguan dalam komitmen ini mungkin akan dimainkan Rusia.
“Jika saya orang Saudi, saya akan mengalihkan jalur ke Moskow, mengalihkan jalur ke Beijing, untuk menemukan seseorang yang lebih dapat diandalkan daripada Amerika Serikat,” kata Kori Schake, wakil direktur International Institute for Strategic Studies dan seorang mantan direktur strategi pertahanan di Dewan Keamanan Nasional.
“Ada peluang bahwa Rusia akan memanen dari investasi mereka di Suriah,” katanya. “Menunjukkan bahwa mereka bersedia mengambil risiko yang tidak akan dilakukan Barat.”
Namun Schake dan yang lainnya menekankan bahwa saat ini masih jauh bagi Putin untuk menggantikan Amerika Serikat sebagai penjamin keamanan keseluruhan di Teluk, peran yang telah dimainkan Amerika sejak 1950-an. Putin bukan tanpa masalah di rumah, di mana ia berada di bawah tekanan untuk meningkatkan standar hidup, mendiversifikasi ekonomi dari minyak dan meningkatkan pertumbuhan.
Tapi itu mengingatkan dunia bahwa Rusia mempertahankan jangkauan geopolitik dan kesiapan untuk bertindak. Termasuk bagaimana Eropa terlihat mulai mendekati Rusia setelah hubungan panas terkait Crimea.
Dalam beberapa pekan terakhir, Presiden Prancis Emmanuel Macron telah memimpin seruan agar Eropa dan Rusia bekerja sama lebih erat, meskipun ia telah menggarisbawahi bahwa sanksi Uni Eropa, yang diberlakukan aneksasi Crimea, tidak boleh dicabut sampai Rusia mengambil langkah-langkah untuk menyelesaikan perselisihannya dengan Ukraina.
“Waktunya telah tiba, saatnya sudah tepat, untuk bekerja ke arah mengurangi ketidakpercayaan antara Rusia dan Eropa, yang seharusnya menjadi mitra pada tingkat strategis dan ekonomi,” kata menteri luar negeri Perancis Jean-Yves Le Drian bulan ini.
Pandangan itu diperkuat oleh duta besar Uni Eropa untuk Moskow, yang menulis dalam sebuah pesan bahwa para pemimpin Uni Eropa harus “pragmatis” dalam terlibat dengan Rusia.
Finlandia, yang memegang jabatan presiden bergilir Uni Eropa dan berbagi perbatasan 1.340 km dengan Rusia, telah lama mendorong pesan yang sama, dengan alasan bahwa keterlibatan kembali dengan Moskow menawarkan lebih banyak peluang dalam jangka panjang daripada isolasi.
Namun kemungkinan perubahan sikap Eropa akan tidak berjalan cepat mengingat ada oposisi yang gigih dari Polandia dan negara-negara Baltik. Tetapi jumlah negara-negara Uni Eropa yang mendukung pendekatan yang lebih pragmatis terus meningkat, kata para pejabat Eropa.
Dari perspektif Moskow, mungkin terasa dilambungkan oleh perasaan bahwa mereka membuat kemajuan di tiga bidang kritis: memperluas hubungan perdagangan dan investasi dengan China, membuat pengaruhnya terasa di Timur Tengah dan membangun kembali hubungan di Eropa.
Untuk pemerintahan Trump, yang telah memfokuskan sebagian besar energinya baru-baru ini pada sengketa perdagangan dengan China, para analis mengatakan itu adalah pengingat akan bahaya tidak terlibat sepenuhnya di sudut-sudut dunia di mana kepentingan Amerika dipertaruhkan.
“Pengalaman Rusia jelas menunjukkan harga mahal ketika meninggalkan ruang hampa dan memproyeksikan niat ambigu,” tulis Anna Borshchevskaya, seorang peneliti senior di Washington Institute bulan ini, merujuk khususnya ke Suriah.
“Rusia sering membuat keuntungan hanya karena Amerika Serikat terlalu menolak risiko untuk menantangnya.”