Uji rudal jarak pendek oleh Korea Utara yang dilakukan beberapa waktu lalu menyisakan keresahan di kalangan pejabat Jepang. Penyebabnya, sistem pertahanan udara Jepang tidak mampu mendeteksi rudal yang ditembakkan oleh Kim Jong un dan berpotensi mencapai wilayahnya.
Pemerintah Jepang khawatir persenjataan baru Korea Utara mungkin terlalu canggih untuk sistem pertahanan yang ada saat ini.
Selama beberapa minggu terakhir, Pyongyang telah melakukan serangkaian tes yang mencakup teknologi rudal jarak pendek KN-23.
Sumber pejabat Jepang mengatakan kepada Japan Times bahwa kapal perusak Angkatan Laut yang dilengkapi sistem Aegis dan radar yang berpangkalan di Jepang mengalami masalah dalam mendeteksi rudal.
“Meski lintasan rudal memang tidak teratur membuat mereka sulit dideteksi, kasus-kasus ini sangat mengkhawatirkan karena kemampuan proyektil untuk mencapai Jepang dan fakta bahwa mereka terbang pada ketinggian 60 kilometer yang berarti di bawah rata-rata untuk rudal,” kata sumber tersebut.
Japan Times melaporkan Senin 23 September 2019 bahwa pemerintah harus bertindak cepat dan menyamai teknologi canggih rudal baru Korea Utara, yang dikatakan menyerupai Rudal Taktis MGM-140 yang digunakan oleh Amerika dan Korea Selatan.
Kegagalan pendeteksian rudal Jepang juga terjadi di tengah hubungan dengan Korea Selatan buruk dan Seoul secara sepihak menyatakan untuk mengakhiri kesepakatan General Security of Military Information Agreement (GSOMIA) 2016 dengan Jepang pada 22 Agustus. Padahal dari perjanjian ini Jepang bisa mendapatkan informasi penting tentang Korea Utara.
“Dalam keadaan ini, pemerintah Republik Korea memutuskan bahwa mempertahankan perjanjian ini, yang ditandatangani untuk memfasilitasi pertukaran informasi militer yang sensitif, tidak melayani kepentingan nasional kita,” kata Kim You Geun dari Dewan Keamanan Nasional Korea Selatan seperti dilaporkan oleh Washington Post.
Meski Jepang dilaporkan tidak berhasil mendeteksi serangkaian peluncuran Korea Utara, Seoul mampu melakukan dan mampu segera menginformasikan kepada publik tentang situasi tersebut.
“Satu-satunya pemenang ketika Jepang dan Korea berseteru adalah pesaing kami,” kata Asisten Menteri Pertahanan Amerika untuk Keamanan Indo-Pasifik Randall Schriver mengatakan di Center for Strategic and International Studies setelah penarikan Seoul dari GSOMIA bulan lalu. “Perselisihan historis, permusuhan dan ketidaksepakatan politik [antara Korea Selatan dan Jepang] harus dipisahkan dari kerjasama militer dan keamanan yang penting.”