Pada Januari 1981 Amerika mulai menggelar operasi kebebasan navigasi besar-besaran di Teluk Sirte untuk menanggapi klaim Libya bahwa perairan tersebut menjadi wilayahnya. Ketegangan tingkat tinggi pun terjadi.
Angkatan Laut Amerika mengerahkan dua kelompok tempur kapal induk yang secara rutin menerbangkan jet-jet tempurnya.
Selama misi tersebut, ada puluhan pertemuan tegang antara pesawat tempur US Navy dan pesawat tempur Angkatan Udara Libya. Pada 19 Agustus 1981, dua Su-22 Libya melepaskan tembakan ke sepasang F-14 Amerika. Tomcat berhasil menghindari tembakan dan justru kemudian menembak jatuh dua pesawat Libya itu.
Tidak terpengaruh dengan kejadian tersebut, orang kuat Libya Muammar Gaddafi merencanakan untuk membunuh anggota oposisi Libya yang tinggal di Amerika Serikat, serta para pemimpin negara-negara tetangga. Hal ini memancing Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya untuk merancang sebuah skema kontra yang rumit.

Sasaran utamanya di awal tahun 1980an adalah Mesir. Hubungan Libya dengan Mesir telah tegang sejak Perang Arab-Israel bulan Oktober 1973. Mesir dan Libya bertempur dalam perang singkat pada bulan Juli 1977. Pada
bulan September 1978, presiden Mesir Anwar Sadat menandatangani perjanjian Camp David dengan Israel dan mengarahkan pemerintahannya lebih dekat ke Amerika Serikat. Gaddafi kesal dengan hal itu dan secara terbuka mengatakan akan membunuh Sadat.

Sekitar waktu yang sama, Gaddafi juga mulai mengkritik pemerintah presiden Sudan Jaffar Numayri, yang pemerintahannya menjaga hubungan baik dengan Mesir dan bahkan membiarkan angkatan udara Mesir menempatkan pesawatnya di Sudan. Numayri juga mendukung pemberontak Chad yang berjuang melawan pendudukan Libya di Chad.
Berkali-kali sampai tahun 1981 dan 1982, Gaddafi mengirim jet tempur dan pembom untuk menyerang kota-kota di Sudan. Paling sedikit dua kali, Tu-22 Libya membom Omdurman, pinggiran ibukota Sudan, Khartoum.
Presiden Mesir Hosni Mubarak – yang mengambil alih setelah pembunuhan Sadat pada tahun 1981 – meminta agar Amerika Serikat memasang pesawat radar E-3 ke Mesir untuk memantau penerbangan Libya.
Pemerintahan Ronald Reagan memiliki gagasan yang lebih baik yakni melakukan kudeta palsu pada pemerintah yang didukung Libya di Khartoum, sehingga menarik Tripoli untuk mengirim pesawatnya ke Sudan, di mana pencegat Mesir dan Sudan kemudian dapat menembak mereka.
Badan intelijen Amerika, Mesir dan Sudan serta angkatan udara ketiga negara kemudian mulai melakukan apa yang dikenal sebagai Operasi Early Call pada bulan Februari 1983.

Angkatan Udara Amerika mengerahkan empat kapal E-3 dan empat tanker KC-10 ke Mesir, sementara kelompok kapal induk USS Nimitz dikerahkan dari posisinya di luar Lebanon ke posisi sekitar 85 mil sebelah utara perbatasan Mesir-Libya.
Didukung oleh pesawat radar E-2, F-14 mulai melakukan patroli udara tempur di sepanjang perbatasan. Sementara itu, E-3 berpatroli di sepanjang perbatasan tiga arah antara Mesir, Libya dan Sudan, untuk memberikan peringatan tepat waktu mengenai aktivitas Libya.
Namun operasi Early Calls gagal total karena badai dan media Amerika Serikat.
Meski upaya kudeta anti-Numeyri – yang dilakukan oleh badan intelijen Sudan – “digagalkan” dan Tomcat dari Nimitz mencegat sepasang MiG-23 Libya yang mendekati daerah perbatasan pada 15 Februari 1983, sisa rencana tersebut dikacaukan oleh cuaca.
Badai pasir memaksa beberapa pesawat E-3 dan KC-10 mendarat di Bandara Kairo, bukan di Pangkalan Udara Kairo. Di sana mereka memarkir pesawat di depan warga sipil, termasuk wartawan Amerika
Kehadiran pesawat menjadi berita besar. Gaddafi membatalkan rencana untuk mengirim pesawat tempur ke Khartoum pada 18 Februari. Sehari kemudian, Reagan tidak lagi punya pilihan selain memerintahkan pasukan Amerika untuk kembali ke pangkalan mereka.