Presiden harus melihat bagaimana Ronald Reagan dan Barack Obama menanggapi konflik yang sama dengan negara Timur Tengah dan memeriksa kembali strateginya untuk Teheran.
Setelah Presiden Donald Trump memutuskan untuk tidak membom Iran sebagai pembalasan karena menembak jatuh pesawat tak berawak Angkatan Laut Amerika, banyak kritikus menuduhnya bertindak lebih seperti Presiden Barack Obama dibandingkan Presiden Ronald Reagan.
Menurut sejumlah kritikus keputusan Presiden Donald Trump untuk membatalkan serangan udara adalah ulangan penolakan Obama untuk membom Suriah setelah presiden Suriah Bashar al-Assad melewati garis merah Obama dengan menggunakan senjata kimia terhadap para pemberontak yang berusaha membuatnya turun dari kursi kepresidenan.
Sementara Reagan menyerang Iran pada 18 April 1988, dua hari setelah sebuah ranjau Iran melukai sepuluh pelaut dan merusak kapal perusak Amerika, USS Roberts, yang merupakan salah satu kapal yang mengawal tanker-tanker Kuwait melalui Selat Hormuz.
Lawrence J. Korb, peneliti senior di Center for American Progress dan menjabat sebagai asisten menteri pertahanan dari 1981 hingga 1985 dalam tulisannya di National Interest 20 Juli 2019 menyebutkan kedua perbandingan sejarah ini memberikan kesan yang menyesatkan tentang bagaimana Obama dan Reagan benar-benar menangani masalah ini. Bahkan, Trump harus mengambil beberapa pelajaran untuk menghadapi krisis saat ini dengan Iran, yang sebagian besar adalah ciptaannya sendiri, dengan memahami bagaimana kedua pendahulu ini menanggapi situasi yang sama.
Sebelum menyerang Suriah pada tahun 2013 setelah Assad menggunakan senjata kimia, Obama meminta Kongres untuk mengeluarkan resolusi yang mengizinkannya untuk mengambil tindakan militer karena serangan dapat membawa Amerika ke rawa Timur Tengah lainnya.
Ketika Kongres menolak untuk mempertimbangkan langkah seperti itu, Obama bekerja dengan presiden Rusia Vladimir Putin untuk membuat Assad mengakui memiliki senjata kimia dan kemudian berjanji untuk menyerahkannya.
Meski prakarsa Rusia-Amerika, yang disetujui oleh Dewan Keamanan PBB dan dilakukan secara internasional, tidak menghapus semua senjata kimia Assad, upaya itu berhasil membuat Suriah melepaskan sebagian besar stok senjata kimianya hingga sekitar 1.300 ton dan jauh lebih banyak dari yang akan dihancurkan oleh serangan udara tunggal (seperti yang diluncurkan Trump terhadap Suriah tak lama setelah menjabat).
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, yang bukan penggemar Obama, menyebut serangan Trump ini satu-satunya sinar cahaya di daerah yang sangat gelap.
Serangan Reagan pada 18 April 1988 tidak merusak wilayah Iran atau penduduk sipilnya. Sebaliknya, Amerika Serikat menenggelamkan lima kapal Iran (tiga kapal cepat, satu fregat, dan satu kapal serang cepat), merusak fregat lain, dan menghancurkan dua anjungan minyak.
Selain itu, tidak bisa hanya melihat respons Reagan pada bulan April 1988 dan mengabaikan tiga insiden lain yang harus dia tangani di wilayah itu pada 1980-an.
Sekitar tiga bulan setelah serangan April, USS Vincennes secara tidak sengaja menembak jatuh Iran Air 655, sebuah pesawat penumpang Iran dan menewaskan 290 orang di dalamnya. Kapal Amerika salah mengira pesawat penumpang itu sebagai jet tempur F-14 Iran.
Reagan menyebut insiden itu sebuah tragedi dan mengatakan bahwa ia menyesali kematiannya, tetapi ia juga membela keputusan kapten kapal USS Vincennes. Orang Iran, yang dilemahkan oleh perang mereka melawan Irak, tidak menanggapi secara militer tetapi masih menganggap bahwa serangan itu sebagai kesengajaan.
Sekitar setahun sebelum USS Roberts dirusak oleh ranjau Iran, yang melukai beberapa pelaut tetapi tidak membunuh siapa pun, sebuah pesawat Irak menyerang USS Stark. Serangan itu menewaskan tiga 77 pelaut dan melukai 21 pelaut lainnya.
Orang Irak meminta maaf. Pemerintahan Reagan tidak melakukan tindakan apa pun terhadap pemerintah Saddam Hussein yang, ironisnya, mendukung perangnya melawan Iran — meskipun menggunakan senjata kimia.
Lebih penting lagi, lima tahun sebelum USS Roberts rusak, ada serangan mematikan ke Kedutaan Besar Amerika di Beirut pada 23 Oktober 1983. Itu adalah hari ketika seorang pembom bunuh diri mengendarai truk dengan dua ribu pon bahan peledak ke dalam kedutaan dan menewaskan 220 Marinir, delapan belas pelaut, dan tiga tentara.
Itu adalah jumlah terbesar marinir yang tewas dalam satu hari sejak Pertempuran Iwo Jima dan serangan teror paling mematikan terhadap angkatan bersenjata Amerika sejak hari pertama Serangan Tet di Vietnam pada tahun 1968.
Banyak penasihat Reagan yang lebih hawkish ingin dia membalas dendam terhadap Iran, yang diyakini sebagian orang berada di balik serangan itu. Tetapi setelah menerima perlawanan dari Menteri Pertahanan Caspar Weinberger, yang menentang penempatan pasukan ke Libanon.
Meski banyak orang mempertanyakan keputusan Trump untuk tidak menyerang wilayah Iran dan sebaliknya meluncurkan serangan siber, jelas bahwa ia membuat keputusan yang tepat — bahkan jika itu dilakukan secara sembarangan.
Beberapa orang yang mengkritik Trump telah memberikan gambaran yang menyimpang tentang bagaimana Obama dan Reagan mungkin menangani situasi ini. Trump sebaiknya mempelajari apa yang sebenarnya terjadi dalam hal ini.
Bahkan, ia mungkin mempertimbangkan untuk bekerja sama dengan Putin guna memulai pembicaraan rahasia untuk membawa Iran kembali ke meja perundingan dan secara strategis memindahkan sebagian besar pasukan di kawasan itu untuk menghindari kecelakaan tragis lainnya.