Absen 16 Tahun, Kini Amerika Bersiap Tempatkan Patriot dan Raptor di Arab Saudi

Absen 16 Tahun, Kini Amerika Bersiap Tempatkan Patriot dan Raptor di Arab Saudi

Amerika Serikat berencana mengirim satu skuadron pesawat tempur F-22 Raptor ke Pangkalan militer Prince Sultan di Arab Saudi. Rencana ini merupakan bagian dari langkah Amerika untuk menempatkan pasukannya di Arab Saudi yang telah disetujui Raja Salman bin Abdulaziz Al Saud.

BBC dalam laporannya menyebutkan, Washington juga akan mengirim baterai rudal pertahanan udara Patriot. Pentagon mengatakan pasukan Amerika sedang dikerahkan ke Arab Saudi untuk membela kepentingan Amerika dari ancaman yang dapat terjadi.

Langkah tersebut dilakukan di tengah meningkatnya ketegangan dengan Iran terkait keamanan jalur pelayaran di Teluk. Arab Saudi pun membenarkan bahwa Raja Salman telah menyetujui langkah tersebut untuk memperkuat keamanan dan stabilitas regional.

Dilaporkan CNN sejumlah kecil pasukan dan peralatan pendukung sudah berangkat dahulu untuk mempersiapkan pemasangan sistem rudal Patriot.

Kerajaan Arab Saudi tidak pernah lagi menerima pasukan tempur Amerika sejak 2003 atau sekitar 16 tahun. Kehadiran Amerika di Arab Saudi dimulai dengan adanya Operasi Badai Gurun pada 1991, ketika Irak menginvasi Kuwait.

Setelah pemboman Menara Khobar 1996 yang menewaskan 19 penerbang Amerika dan melukai 400 lainnya, militer Amerika memindahkan sebagian besar pesawat dan personelnya di Arab Saudi ke Pangkalan Udara Prince Sultan, di mana mereka tetap tinggal sampai Amerika memulai Operasi Pembebasan Irak pada tahun 2003.

Pada bulan April 2003, Menteri Pertahanan Amerika saat itu, Donald Rumsfeld dan menteri pertahanan Saudi memutuskan untuk menarik semua pasukan Amerika dari pangkalan dikembalikan ke pemerintah Saudi.

Meski Pangkalan Prince Sultan adalah fasilitas aktif, bagian dari pangkalan tersebut akan memerlukan peningkatan untuk mengakomodasi militer Amerika, termasuk memperkuat dan memperluas jalan dan landasan pacu.

“Gerakan pasukan ini memberikan pencegah tambahan dan memastikan kemampuan kami untuk mempertahankan pasukan dan kepentingan kami di kawasan dari ancaman yang diyakini akan muncul,” demikian pernyataan dari Komando Sentral Amerika.

 

Ketegangan antara Amerika dan Iran semakin memburuk sejak Washington secara sepihak menarik diri dari kesepakatan nuklir 2015 yang penting. Amerika sejak itu memperketat sanksi yang dijatuhkan kembali pada sektor minyak Iran.

Bulan lalu, Iran menembak jatuh pesawat pengintai Amerika di Selat Hormuz. Iran menuduh AS melanggar wilayah udara Iran. AS bersikeras bahwa pesawat tak berawak itu telah berada di atas perairan internasional pada saat itu, dan mengutuknya sebagai serangan tidak beralasan.

Amerika juga meminta Iran untuk melepaskan sebuah kapal tanker berbendera Panama dan 12 awaknya, yang ditangkap oleh Garda Revolusi pada Ahad saat patroli angkatan laut. Iran mengatakan kapal itu telah menyelundupkan bahan bakar.

Kemudian pada Kamis kemarin Presiden Donald Trump mengatakan sebuah kapal perang AS telah menghancurkan pesawat tanpa awak Iran yang terlalu dekat. Dan Iran membantah kehilangan pesawat tak berawak.

Pada Jumat ketegangan meningkat lebih tinggi ketika pasukan Iran menyita tanker minyak berbendera Inggris Stena Impero di Teluk dan menyebut kapal tersebut melanggar peraturan.

Menteri Luar Negeri Inggris Jeremy Hunt geram dan menuntut pembebasan kapal tanker itu, dengan mengatakan akan ada “konsekuensi serius” jika Iran terus menahannya. AS juga menyalahkan Iran atas dua serangan terpisah terhadap tanker minyak di Teluk Oman pada Mei dan Juni, tapi tudingan ini dibantah Teheran.