Meski belum sekalipun saling serang, perseteruan antara jet tempur siluman F-35 dan sistem rudal pertahanan udara S-300 dan S-400 Rusia telah memanas. Kedua senjata ini memang berpotensi untuk saling bidik, terutama di Timur Tengah.
Israel secara aktif telah menerbangkan F-35 ke dalam pertempuran, yang berarti Joint Strike Fighter memulai sebuah pertempuran melawan radar dan senjata anti-pesawat buatan Rusia yang dirancang untuk menjatuhkannya. Tetapi kita tahu ini adalah pertempuran yang lama ditunggu-tunggu antara puncak teknologi perang Amerika dan Rusia. Dan itu terjadi di Timur Tengah.
Sampai sekarang, tidak ada senjata permukaan ke udara S-300 ataupun S-400 yang pernah ditembakkan ke sasaran dalam situasi tempur sebenarnya. Lightning II masih dalam pengujian, dan debut kekuatan perang jaringannya masih akan bertahun-tahun lagi.
Pertarungan mereka dinanti dan selama ini yang terjadi barulah perang kata-kata dan klaim antara pengkritik, insinyur, salesman, dan wartawan. Tetapi medan pertempuran sebenarnya jauh dari kata-kata..
Tetapi di Timur Tengah kini pertarungan sedang berlangsung. F-35 telah menjadi sasaran kritik banyak ahli selama perjalanan panjangnya yang mendorong pesawat ini menjadi program senjata paling mahal dalam sejarha Pentagon.

Selain itu kritikus Amerika juga mencerca kemampuannya. Apalagi kritik selalu dikaitkan dengan upaya Rusia, yang menjual rudal anti-pesawat canggih mereka.
Rusia juga terus mengklaim kehebatan rudal pertahanan udara mereka baik S-300 maupun S-400 yang diyakini dapat melacak dan menghancurkan target siluman. Meski klaim tersebut kadang terlalu berlebihan tetapi memang benar bahwa Rusia telah mendigitalkan sistem lama dan memasang pencari baru ke hulu ledak, membuat peralatan yang lebih tua menjadi lebih menakutkan.
Banyak sistem anti-pesawat yang ditingkatkan tersebut berada di gudang senjata Suriah, termasuk baterai S-200 dan self-propelled Buk-M2E serta Pantsir S1. Ketika peralatan baru memasuki medan perang di Timur Tengah, ia membawa potensi untuk mengubah keseimbangan.
Radar yang didigitalkan dapat menghubungkan banyak sistem guna mendapatkan gambaran yang lebih baik tentang apa yang akan terjadi, dan apa yang ada di langit.
Semua ini memunculkan pertanyaan dan juga keraguan apakah F-35 masih bisa bertahan hidup di tengah kepungan senjata Rusia.
Insinyur merancang F-22 agar tidak terlihat pada banyak panjang gelombang dan dari berbagai arah. Berbeda dengan Lightning II yang tidak menawarkan kemampuan melawan berbagai jenis gelombang yang menyerang dari berbagai arah. F-35 tidak memiliki desain kurva ala F-22 Raptor yang menutupi pesawat dari radar di semua sudut. Ketika radar berasal dari samping, hasilnya lebih kuat.
Hal ini menjadikan sejumlah analis ragu dengan kemampuan siluman F-35. Kemampuan siluman menjadi bagian yang kerap dikorbankan dalam membangun F-35. Sangat berbeda dengan F-22. Permukaan F-22 terbuat dari aluminium, yang tercakup dalam RAM (radar-absorbent materia) yang harus selalu diperbarui kembali. Hal ini menjadi mimpi buruk bagi awak pemeliharaan.
Sementara F-35 terbuat dari komposit serat karbon, dan insinyur Lockheed memasang RAM ke dalam bagian pesawat dalam upaya untuk menyerap radar masuk.